26 Sep 2014
DALLAS BUYERS CLUB (2013)
Di review oleh
Ratih Angga Dewi
label:
drama,
keren,
survival,
true story
Gimana perasaanmu ketika tiba-tiba divonis mengidap HIV/AIDS dan hidupmu tinggal 30 hari lagi? Depresi pastinya, dan pasti langsung kehilangan semangat dan ngedrop. Inilah kenyataan mengejutkan yang dialami Ron Woodroof (Matthew McConaughey), seorang ahli listrik yang juga kadang menjadi penunggang rodeo. Ia divonis menderita HIV/AIDS yang kebanyakan diidap oleh kaum homoseksual . Diceritakan film ini bersetting di Dallas, Texas, Amerika Serikat, pada tahun 1985
Kepribadian Ron yang liar, melakoni seks bebas, minum-minum hingga menggunakan obat-obatan terlarang harus mengantarkannya pada kenyataan pahit dan tak ia duga. Meski awalnya tak percaya, marah dan mengira bahwa darahnya saat ditest tercampur dengan darah orang lain, tapi Ron tak bisa menampik ketakutannya. Yap, ia pada akhirnya percaya dengan vonis itu. Ia pun sempat dilanda depresi dan frustasi. Angka 30 pun seakan menjadi momok baginya. Namun ia tak mau tenggelam dalam ketakutannya. Ia pun mulai bangkit!! Dalam kondisi lemah, Ron mulai berusaha mempelajari secara otodidak tentang penyakit AIDS dari buku-buku dan segala referensi lainnya.
Ia pun mulai memburu AZT, zat yang diyakini merupakan obat HIV/AIDS yang masih dalam uji klinis di AS pada saat itu. Hingga pada suatu saat ia terbang ke meksiko dan bertemu dengan dokter Vasss yang justru menawarkan penyembuhan alternatif dan berbagai suplemen diet. Merasa kondisinya membaik, ia pun mulai menyelundupkan obat ilegal yang terbukti memperpanjang umurnya tsb dan menjadikannya peluang bisnis. Dari situlah ia bersama rekan sependerita-nya yakni Rayon (Jared Leto) mendirikan organisasi, Dallas Buyers Club.
Sejak awal film ini sudah membuatku tertarik dengan pesona tokoh utamanya yakni Ron Woodroof (Matthew McConaughey). Karakternya yang terkesan cuek, bebas, keras dan semau gue benar-benar melekat dibalik tubuh krempeng yang kini dimilikinya berkat diet ekstrim yang konon dilakukannya untuk menunjang penampilannya di film ini. Yap, secara fisik dan pembawaan ia sangat pantas memerankan seorang yang mengidap HIV/AIDS. Perlahan karakter sang koboy berubah menjadi rapuh dan tergoncang ketika menerima kenyataan hidupnya berada diambang kematian. Disitu ia juga mampu mendalami karakter seseorang yang depresi, dan secara manusiawi menunjukkan kelemahannya.
Selain Matthew, akting yang bagus pun juga dilakoni oleh Jared Leto. Ia difilm ini berperan menjadi Rayon, sosok transgender yang juga menderita HIV/AIDS. Ia adalah seorang homoseksual yang tak segan menggoda Ron yang seorang homophobic. Ron yang anti dengan kaum gay pun terlihat risih dengan Rayon pada awalnya. Jared Leto terlihat tak kalah kurusnya dengan rekannya tsb. Make-up nya juga sangat meyakinkan dan cantikk. Mereka berdua memang bener-bener niat dan meyakinkan banget di film ini hingga secara fisikpun rela untuk totall berubah.
Budgetnya yang konon minim tidak lantas membuat Dallas Buyers Club menjelma menjadi film yang biasa-biasa saja. Dengan plot simpel dan berbasis kisah nyata, Jean-Marc Vallee berhasil memoles Dallas menjadi begitu memukau dengan modal dua karakternya yang kuat. Film ini berhasil mengangkat isu pada jamannya, dimana homoseksual selalu dikambing hitamkan menjadi penyebab AIDS. Konflik personal antara Ron dan tim FDA (bahan pengawas dan periijinan obat) juga tersampaikan dengan baik
Dallas tak hanya berbicara tentang isu-isu yang ada pada tahun itu. Ini juga bukan cerita klise seperti di film-film melodrama yang menawarkan adegan-adegan mengharukan dan bikin mewek sepanjang film. Memang ada keharuan di beberapa adegannya, tapi yang terasa kental disini justru tentang semangat seorang Ron Woodroof yang berhasil bangkit dari titik terendahnya pada saat divonis dokter dan berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Setidaknya mampu membuat kondisinya jauh lebih baik dan bisa melewati hari keramat yang diprediksi dokter. Ya, manusia memang selalu bisa berbicara dan memprediksi, tapi tuhanlah yang pada akhirnya menentukan.
Dan menariknya orang seperti Ron yang terlihat liar dan semaunya, dalam kondisi sebagai pesakitan tak hanya mampu mematahkan vonis dokter, ternyata ia juga perlahan bertransformasi, dan mampu memberi manfaat bagi orang lain yang bernasib sama dengannya. Ditengah kesulitan orang menemukan obat legal, ia tergerak berbisnis walaupun harus berurusan dengan FDA sampai pihak berwajib sekalipun. Ia seolah menjelma menjadi malaikat pada saat itu dimana para pengidap sepertinya kian bingung dan tak yakin dengan berbagai macam obat yang kian gencar ditawarkan dipasaran.
Oiya, suka banget deh sama scoringnya, membuat nuansa film ini tetap nyentrik dan koboy banget, walaupun menyimpan kepiluan. Ini adalah film based on a true story yang kelihatan banget digarap dengan bener-bener niat, dengan cast yang total bermain terutama dua karakter Ron dan Rayon, dengan pendalaman materi yang bagus sehingga menjadikan Dallas bener-bener hidup dan mampu menggambarkan keadaan pada tahun itu, dengan segala isu dan kritik sosialnya, hingga mengajak kita bersimpati dan perlahan menyelami karakter menarik kedua tokoh utamanya. Gak salah sih kalau film ini mengantarkan Matthew McConaughey dan Jared Leto meraih Piala Oscar pada Academy Award 2014 lalu.
21 Sep 2014
GRAND PIANO (2013)
Di review oleh
Ratih Angga Dewi
label:
lumayan,
psychological,
thriller
Tom Selznick kali ini akan bermain dalam konser besar dalam rangka mengenang kematian sang pianis legendaris yang juga merupakan gurunya. Setelah kegagalannya 5 tahun yang lalu dalam memainkan La Cinquette musik yang sangat susah dimainkan dan membutuhkan kemampuan luar biasa. Kini ia kembali dan berkesempatan memperbaiki citra dirinya yang saat itu sempat terjatuh gara-gara kegagalan dalam konsernya tsb. Tom tentu saja sangat nervous, gugup karena tak mau kejadian 5 tahun yang lalu terulang kembali. Apalagi ini adalah pertama kalinya ia bermain dengan grand piano yang kini diwariskan kepadanya tsb
Membayangkan menonton Elijah Wood yang demam panggung memainkan jari-jari lentiknya diatas sebuah piano besar diatas panggung megah dengan sentuhan dekorasi yang sangat berkelas. Terlihat sangat meyakinkan dan elegan memang pada awalnya. Ditambah lagi adanya teror dari seseorang yang terus mengarahkan sniper ditubuh sang pianist, mengingatkanku dengan Phone Booth tentu saja, tapi ini dalam versi yang beda dari sensasi claustrophobic dalam telepon umum. Tom memang tertekan, terintimidasi oleh sang peneror tapi lebih kepada nyalinya yang makin lama makin menciut walaupun dia berada dalam ruangan yang luas dengan penonton yang begitu banyaknya.
Permainan menegangkan pun dimulai ketika jari lentik Tom Selznick (Elijah Wood) mulai menari-nari menekan tuts demi tuts piano peninggalan gurunya tersebut. Ketika ia menyadari bahwa ada seseorang yang mengancam keberadaannya dan sang istri Emma. Sang peneror mengancam didalam lembaran partiturnya bahwa ia akan membunuhnya juga sang istri jika Tom melakukan kesalahan walau hanya satu nada saja dalam permainannya. Tak cukup disitu, sang peneror juga menyuruh Tom memainkan La Cinquette yang dulu pernah membuat ia malu setengah mati karena pernah gagal memainkannya. Tom yang menyimpan sebuah trauma karena kegagalannya dalam konser 5 tahun yang lalu pun makin demam panggung dan makin gelisah tak karuan. Namun ia tetap berusaha fokus dan tetap memainkan jarinya dengan sangat cepat, secepat degup jantungnya yang makin berkejaran
Setting film ini memang sangat megah, performa Tom pun sekilas sangat meyakinkan dengan dandanan klimisnya, baju rapih dan kerutan wajahnya yang mengisyaratkan kegugupan. Ancaman si peneror pun pada awalnya sempat membuatku merasakan ketegangan seiring dengan keresahan Tom yang mulai mengucurkan keringat dingin didahinya. Didukung dengan permainan piano yang mendayu penuh misteri mengiringi ketegangan, semua berjalan dengan tempo yang lumayan cepat tapi entah kenapa film ini terasa monoton hingga dipertengahan film.
Entah kenapa ketegangan itu terasa makin biasa seiring dengan permainan piano dan ekspresi wajah Elijah Wood yang semakin membosankan duduk dibalik grand piano tsb. Grand piano dan semua elemen diruangan megah tersebut pada akhirnya seperti hanya membungkus semua ketegangan yang klise. Ini tak beda jauh dengan film-film thriller diluaran sana yang kemasannya mungkin lebih sederhana. Tapi Grand Piano dikemas dengan bungkus yang elegan, hanya itu bedanya. Bahkan sang peneror pun ternyata tak membuatku menjadi terkesan (biasanya kalo ada villain yang keren malah terkesan sama vilainnya), Nah di film ini sosok John Cusack ga bisa memberikan itu semua, gak semengerikan yang dibayangkan, begitupun motiv yang mendasari ancamannya
Film ini diproduseri oleh Rodrigo Cortez tapi gak berhasil membuatku terpaku dan terpesona seperti ketika menonton Buried yang lebih sederhana dan jauh dari unsur-unsur kemegahan namun jenius itu. Ini terlalu bagus diawal namun membosankan pada akhirnya. Endingnya memang menjawab semua misterinya, apa motiv dari si peneror dll tapi thriller satu ini kurang bisa membekaskan kesan yang mendalam. Memang gak buruk sih, masih ada kelebihan dari segi setting nya yang megah dan sinematografinya, tapi gak ada sesuatu yang istimewa yang membuatku akan terus mengingat adegan tertentu di film ini. Seharusnya dengan tampilan dan setting yang begitu megah dan epic, Grand Piano bisa memberikan lebih dari ini, terutama dalam penyelesaiannya.
CHEF (2014)
Di review oleh
Ratih Angga Dewi
label:
comedy,
drama,
lumayan
Dalam dunia kuliner, setiap orang pasti mempunyai ide untuk bereksperimen dan mengeksplorasi berbagai rasa. Apalagi jika kita adalah seorang chef sebuah restoran ternama pastilah ada keinginan untuk memanjakan lidah para pengunjungnya dengan citarasa yang baru. Seperti juga seorang Carl Casper (Jon Favreau), ia adalah seorang koki sebuah restoran terkenal yang bisa dibilang kreatif dan idealis, suka menciptakan kreasi masakan yang baru. Begitu pula ketika ia harus menjamu seorang kritikus makanan, ia pun telah bersiap untuk menghidangkan segala yang beda dan lezat pastinya
Namun semua ide kreatifnya tak bisa terwujud lantaran sang bos yakni Riva (Dustin Hoffman) menyuruhnya untuk membuat menu classic. Pada akhirnya ia direview begitu buruk bahkan ulasan tentang masakannya tersebut merambah luas ke dunia maya. Carl kebakaran jenggot dan sempat mendamprat sang kritikus, dan sial tanpa disadari peristiwa itu justru makin membuat reputasinya kian memburuk karena video caci makinya terhadap sang kritikus juga mulai tersebar didunia maya. Lengkap sudah kesialan yang Carl dapatkan. Dalam keadaan yang serba terpuruk tersebut, ia pun mulai mencoba bangkit dengan memulai sebuah usaha unik yakni berjualan makanan menggunakan food truck, dibantu dengan sang anak dan rekannya ia pun memulai bisnis barunya tsb
Dari film ini bisa dilihat bahwa ternyata bekerja disebuah restoran tersohor dan menjadi seorang chef ternama sekalipun bukanlah sebuah jaminan kebahagiaan. Kreatifitas yang dimiliki Carl terkungkung. Ia tak pernah memiliki kebebasan berekspresi lewat masakannya, bahkan waktu bersama sang anak pun seolah menjadi tersita. Tak disangka lewat bisnis food trucknya ternyata justru membuat hidup Carl lebih enjoy, lebih memiliki kebebasan dalam menjalani hobby sekaligus pekerjaannya tanpa merasa ditekan, tanpa merasa diatur dan itu justru yang mampu menghantarkannya pada sebuah kebangkitan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Seperti dikehidupan nyata aja deh, kadang orang lebih memilih untuk membuka bisnis kecil-kecilan, tapi memang sesuai dengan apa yang diinginkan daripada mempunyai profesi yang kelihatannya menjanjikan dan keren, tapi harus bekerja dibawah kuasa seseorang yang mempunyai misi dan visi yang kadang gak sejalan
Tak hanya mengiming-imingi kita dengan berbagai sajiannya yang membuat kita ngiler, berikut pengambilan gambar makanan yang terlihat menggiurkan, Chef juga dibungkus dengan drama, hubungan Carl dan anaknya Percy yang mulai renggang sejak sang ayah terlalu sibuk dengan pekerjaaannya didapur. Dramanya gak terlihat mendominasi, ia terasa membaur dengan hangat dibalik semangat pekerja keras seorang Carl Casper yang juga terasa sekali dalam film ini. Sempilan komedi dari dialog-dialognya pun juga cukup menggelitik.
Ditambah pula dengan penggunaan social media yang cukup mendominasi sepanjang film ini menjadikan Chef makin terasa masa kini banget. Bahkan seperti potret kehidupan jaman sekarang, dimana digambarkan seorang anak seumuran Percy justru lebih melek internet daripada orang dewasa seperti Carl. Namun disini ditunjukkan bahwa Percy memanfaatkan itu dalam sisi positif. Ya, ke-eksisannya dalam menggunakan socmed justru menjadi senjata ampuh dalam kegiatan pemasaran bisnis food truck sang ayah.
Semua elemen dalam film ini berhasil diracik Favreau menjadi sebuah tontonan lezat, selezat sandwich cubano yang ia olah. Hubungan ayah-anak juga dengan mantan istri pun ditampilkan dengan mengalir dan realististis. Film ini dengan santai mengajak kita berpetualang bersama food truck sekaligus menikmati kerenyahan komedi, juga menikmati kehangatan drama yang membalutinya. Sempet terlintas dipikiranku, enak juga kali ya jualan street food pake truck kaya di film ini, ga melulu cuma disatu tempat aja, jadi kita yang menghampiri tempat-tempat ramai dan gak akan membosankan pastinya haha, bisa sambil liburan dan jalan-jalan juga. :D
2 Sep 2014
PRISONERS (2013)
Di review oleh
Ratih Angga Dewi
label:
crime,
drama,
keren,
thriller
Yaa rasa-rasanya semua orang tua akan berusaha semampu yang ia bisa untuk mencari dan menyelamatkan anaknya yang hilang. Seperti yang dilakukan Keller Dover (Hugh Jackman) yang tanpa lelah dan tanpa putus asa harus pontang panting kesana kemari mencari sang putri yang berumur 6 tahun yakni Anna (Erin Gerasimovich) yang tiba-tiba saja lenyap dan keberadaannya entah dimana. Peristiwa naas itu terjadi saat Keller bersama istrinya Grace (Maria Bello) dan kedua anaknya, Anna dan Ralph, sedang berkunjung kerumah kerabatnya untuk merayakan Thanksgiving. Keller dan sang istri baru menyadari anak mereka hilang saat mereka tak menemukan anna dan Joy (putri Franklin) yang sedari tadi bermain-main diluar rumah.
Prisoners ini ku kira bakalan mirip sama Taken, karena keduanya sama-sama bercerita tentang penculikan anak, dan melibatkan sang ayah dalam pencarian. Tapi ternyata dugaanku salah karena di film ini justru lebih menitikberatkan pada misteri yang cukup ber-labirin dan tentu saja film ini tidak secepat Taken yang notabene merupakan film action dengan tempo yang cepat. Tapi walaupun tidak seagresif film-film aksi dan temponya tergolong sedang, Prisoners tetap mampu membuat kita fokus dan terbius mengikuti setiap jengkal cerita dan misterinya.
Sepanjang dua setengah jam saya pun dengan manisnya tetap duduk tak bergeming, asyik menguliti semua misteri yang mengusik rasa penasaran. Prisoners benar-benar suguhan yang mengasyikkan, kita akan diajak mengupas setiap balutan misteri dengan beberapa petunjuk yang pelan-pelan disisipkan, hingga pada akhirnya benar-benar dipaparkan diakhir film. Seiring itu kita juga diajak menyelami karakter dari tiap tokohnya terutama karakter Keller yang menurutku sangat terlihat gegabah. Ya mungkin keresahan dan keputus asaan seseorang bisa mengubah seseorang itu menjadi sosok yang cenderung tanpa pertimbangan dalam melakukan apapun. Mungkin ini bisa jadi pesan moral, bahwasanya dalam keadaan serumit apapun pengendalian diri itu penting, jangan hanya mengandalkan emosi. Dan sikap yang ditunjukkan Keller itu kadang membuatku kurang simpatik dengannya. Walaupun tetap saja, sosok Keller sebenarnya merupakan sosok bapak yang baik dan cinta keluarga
Tak hanya menyisipkan sebuah pesan klise jangan sampai kita lengah dalam menjaga anak ! seperti sebuah puzzle, Prisoners juga mengajak kita asyik bermain, mencoba menggabungkan kepingan-kepingan clue sepanjang film. Gak ada yang benar-benar meyakinkan disini. Semuanya serba mungkin dan hanya bisa ditebak-tebak. Semua petunjuk pun juga tidak secara jelas diselipkan, semua itu membuat kita makin penasaran. Drama-crime ini benar-benar membuatku terpaku untuk terus mantengin layar, pengen tahu apa saja yang akan terjadi, kejutan apa yang akan terkuak lagi dan begitu sang pelaku akhirnya dikeluarkan dari 'persembunyiannya' menjelang akhir film, itu sudah cukup memberikan jawaban dan cukup memuaskan, walaupun gak begitu mengejutkan tapi gak mengurangi kadar kepuasan menonton
Prisoners begitu menyenangkan mungkin juga karena dari awal, gambar dan nuansa yang ditampilkan pun sangat mewakili atmosfir yang menyelimuti film ini. Selain misteri dan atmosfir film yang mendukung ketegangan dan keasyikan menonton, para karakter di film ini juga berperan penting sehingga Prisoners menjadi sangat membekas dihati. Seperti kubilang tadi, Akting Hugh Jackman sangat gemilang dengan permainan wataknya yang kuat. Selain itu ada sosok detektif Loki (Jake Gyllenhaal) yang juga berakting dengan sangat meyakinkan. Overall bener-bener puas menonton film ini. Walaupun cuma nonton dilaptop tapi tetep aja mengasyikkan dan gak ada bosannya sama sekali padahal durasinya lumayan lama . Recomended nih buat orang-orang yang suka film-film detective dan menyukai film bergenre drama-crime. Di jamin gak mengecewakan filmnya :)
Langganan:
Postingan (Atom)