11 Mei 2015

MAGGIE (2015)




Film zombie tak selalu menawarkan aksi brutal segerombolan mayat hidup, film zombie ada juga yang terasa melankolis dan pilu. Maggie contohnya, film horor satu ini menawarkan nuansa yang beda dari film zombie kebanyakan. Menceritakan tentang virus yang menyerang sebuah desa terpencil. Adalah Wade (Arnold Schwarzenegger), seorang ayah yang putrinya juga terserang virus necroambulist tsb.  

Maggie (Abigail Breslin) gadis malang tersebut mau tak mau harus menunggu sekitar 6 minggu untuk berubah menjadi sosok yang bukan lagi dirinya, ya sosok yang nantinya bukan tidak mungkin akan menyerang ayah yang dicintainya. Namun sang ayah sama sekali tak takut dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk itu. Ia tetap mempertahankan Maggie dan berjuang menyelamatkan anaknya tsb. Bahkan Maggie tetap diijinkan untuk tinggal bersamanya.

Meski merupakan film bertema zombie, Maggie tidak bercitarasa zombie yang kental dengan adegan cabik mencabik, tidak dipenuhi adegan teror mayat hidup yang intens. Film zombie satu ini menawarkan cerita yang gelap, namun tetap mengharu biru. Semacam drama survival yang lebih menggugah emosi penontonnya. Sangat sedikit adegan yang benar-benar mencerminkan keganasan zombie. Ini justru tentang proses menjadi zombie itu sendiri. Juga tentang konflik batin karakter-karakter yang ada didalamnya, berikut pilihan yang harus diambil dan resiko yang harus dijalani

Film ini ingin mengangkat tentang hubungan emosional ayah dan anak, tapi saya kurang begitu merasakan adanya ikatan perasaan yang dalam antara Wade dan Maggie. Ditambah lagi temponya yang lambat membuat film zombie satu ini makin terasa loyo. Akting keduanya terutama Abigail Breslin sih lumayan oke, tapi sepertinya ia terlalu manis untuk bertransformasi menjadi mayat hidup :v Saya lebih suka melihatnya jadi sosok lucu nan imut seperti di Little Miss Sunshine, atau di No Reservation. Tapi sekarang doi udah beranjak dewasa sih ya, udah banyak merambah ke genre-genre yang lebih menantang termasuk genre horor seperti ini. Oke deh dimaklumi :)

Tapi diluar semua kekurangannya, film ini mengakhiri semua konflik dengan keputusan yang cukup bisa diterima. Sebuah ending untuk film zombie yang melenceng dari apa yang sering kita saksikan. Namun di sinilah nilai plus film ini yang membedakannya dengan film zombie yang lain. Bagi kamu yang suka dengan teror zombie yang seru mungkin akan kecewa dengan film besutan Henry Hobson ini. Tapi bagi kamu yang senang melihat film zombie yang lebih 'manusiawi' mungkin akan suka dengan film ini :)


7 Mei 2015

TAKEN 3 (2015)



Saya tak terlalu menyukai film bergenre action, namun selalu suka jika menonton film-film aksi yang dibintangi Liam Neeson. Saya mulai jatuh hati ketika melihat aktingnya di Taken tahun 2008 silam, menyusul kegarangannya di Taken 2 empat tahun berikutnya. Itulah yang membuat saya merasa wajib menonton sekuelnya yang ke 3. Saya pikir film ini telah berakhir di Taken 2 tapi ternyata ada lagi lanjutannya. Senang dan excited tentunya dan berharap seri yang ke 3 ini akan menjadi sekuel pamungkas yang memuaskan

Tak seperti dugaanku, ternyata sekuelnya kali ini tidak lagi bercerita tentang penculikan seperti premis khas nya di dua seri sebelumnya. Kali ini justru Bryan Mills (Liam Neeson) lah yang menjadi tersangka atas pembunuhan sang mantan istri Lenore (Famke Jannsen) Tentu saja ia tak tinggal diam, sembari melakukan aksi kabur dan menghindari kejaran polisi, Bryan juga melakukan penyelidikan bersama rekan-rekannya mantan anggota CIA, yakni mencari dalang dibalik pembunuh sang mantan istri yang sebenarnya.

Tak ada yang salah dari akting aki ganteng satu itu, aksi-aksinya masih tetap garang dan memukau walaupun tak bisa dipungkiri ia tak lagi se-cekatan dulu waktu menyelamatkan sang putri di Taken 1, juga saat penculikan Lenore di Istanbul. Namun cerita yang diusung kali ini justru menurutku terlalu dipaksakan. Ingin terlihat berbeda dari premis yang biasanya malah menjadikan Taken 3 kehilangan pesonanya. Padahal yang membuat Taken selalu menarik adalah alur cerita yang dinamis dan gak membosankan, juga tempo yang enak diikuti. Dan di Taken 3 ini ceritanya tidak cukup kuat untuk menjadikan keseluruhan filmnya menjadi menarik.

Untuk adegan aksinya menurut saya masih lebih keren di seri-seri sebelumnya, bahkan di Taken 2 yang banyak orang menilai kurang bagus pun menurut saya masih lebih bagus dan asyik dinikmati. Di Taken 3 ini entah kenapa terasa flat dan di beberapa adegan actionnya malah kadang terasa gak realistis. Tapi tetep suka dengan kharisma Neeson di film ini saat berinteraksi dengan sang putri. Sosok ayah yang penyayang dan sangat melindungi sepertinya tlah melekat kuat dalam karakter Bryan Mills. Lembut tapi menyimpan ketangguhan

Yang jadi pertanyaan, akankah ada seri ke 4 nya. Semoga benar-benar berakhir di seri ke 3 ini. Saya berharap bisa melihat Neeson di film-filmnya yang lain, di film aksi yang baru mungkin. Saya yakin ia masih cukup mampu untuk memerankan film bergenre sejenis, karena aktor Irlandia itu semakin tua sepertinya malah semakin garang aktingnya. Entah maghnet apa yang menempel di dirinya sehingga saya yang sebenarnya tak begitu menggemari film action selalu terdorong untuk menonton film-film aksi yang dibintanginya. 

Overall untuk Taken 3 sebenarnya masih bisa dinikmati kok, walaupun tidak se-istimewa seri sebelumnya. Oh ya ada twist ending juga di seri ke 3 ini, walaupun predictable tapi mungkin ini akan menjadikan nilai tambah dibanding seri sebelumnya. Happy watching !!


INTO THE STORM (2014)

 

Badai adalah sesuatu yang pada umumnya membuat orang panik dan lari tunggang langgang karena merupakan bencana yang dahsyat dan bisa memporakporandakan sesuatu disekitarnya, termasuk menghilangkan nyawa seseorang. Tapi tornado difilm ini justru merupakan sesuatu yang dinanti-nantikan oleh sekelompok orang. Mereka adalah sekelompok tim pemburu hantu badai yang dipimpin oleh Pete (Matt Walsh) Ia sangat terobsesi untuk membuat sebuah film dokumenter. 

Ada juga 2 pemuda yang bercita-cita untuk menjadi artis terkenal, dialah Donk (Kyle Davis) dan Reevis (Jon Reep) yang gemar merekam peristiwa dan hal-hal ekstrim untuk diunggah ke youtube. Tidak hanya bercerita tentang sekelompok tim pemburu badai tsb, ada juga keluarga Gary Morris (Richard Armitage) yang saling terpisah dan akhirnya bergabung dengan tim pemburu untuk mencari sang anak, Donnie (Max Deacon) 

Dari awal Into The Storm tidak mampu membius saya untuk terus memandangi layar. Saya justru merasa bosan dengan percakapan-percakapan dan adegan demi adegan yang dikemas dengan sistem found footage tsb. Entah kenapa film ini tak bisa mengikat saya untuk menyatu dengan ceritanya padahal biasanya saya selalu suka dengan film-film dengan konsep seperti ini. Gaya mockumentary tsb sebenarnya sangat menunjang sebuah film disaster untuk menjadi lebih dramatis dan menarik. Tapi ketika diterapkan di film ini kok malah jadi hambar ya

Namun untungnya film ini berhasil mengembalikan perhatian saya dipertengahan film ketika badai tornado itu terjadi. Efek tornado itu benar-benar mengerikan. Kedahsyatannya membuat saya merinding, berikut suara-suara yang ditimbulkannya. Tornado dengan api merupakan gambaran yang paling spektakuler dari film ini. Dan saat kekacauan terjadi saya masih gak habis pikir dengan sekelompok orang yang rela mempertaruhkan nyawa dan justru kegirangan merekam momen tsb hanya demi kepopuleran dan uang. Tapi di situlah sisi konyol film ini 

Saya menyukai film tentang bencana tapi memang kebanyakan film bertema disaster tidak mempunyai naskah yang menarik, seperti film ini. Naskah seolah hanya menjadi penghantar cerita saja dan itu merupakan kelemahan film-film jenis ini, yang bisa menjadikan filmnya terpuruk. Pada akhirnya saya lebih tertarik untuk menyaksikan betapa dramatisnya adegan saat mereka bertahan agar tidak terbawa pusaran angin tornado tsb daripada mengikuti alur cerita yang ada. Walaupun begitu bukan berarti Into The Storm gagal total, hanya sedikit membosankan dan monoton. Selebihnya masih oke, terselamatkan dengan visual effect nya yang keren.

6 Mei 2015

LOCKE (2013)


Sudah terlalu sering saya bilang bahwa saya menyukai film-film sejenis ini. Ya, film ruang sempit yang hanya mengandalkan 1 pemain sepanjang film. Kalaupun ada karakter lain biasanya hanya akan berwujud suara sepanjang film. Dan sejauh ini film ruang sempit yang paling keren yang pernah saya tonton masih tetap Buried, thriller berbudget minim garapan Rodrigo Cortez itu belum ada yang menandingi keekstriman dan kegeniusannya hingga detik ini.

Dan kenapa saya suka dengan film-film jenis ini, jawabannya adalah karena saya selalu penasaran apa yang bisa dilakukan 1 aktor untuk tetap bisa membius penontonnya sepanjang scene yang monoton itu. Dan itu juga yang membuatku tertarik untuk menonton drama ruang sempit yang mengandalkan Tom Hardy sebagai aktor yang melakoni one man show kali ini.

Locke bercerita tentang kegalauan Ivan Locke yang harus menghadapi situasi sulit dan penuh tekanan sepanjang film. Malam itu ia meninggalkan pekerjaan konstruksinya, kemudian membelah kota Birmingham dengan mobil BMW X5 nya menuju kota London. Tak seperti pengendara pada umumnya yang bisa santai mengemudi dan fokus, pikiran Ivan justru bercabang kemana-mana. Bagaimana tidak, sembari mengemudi dengan kecepatan tinggi, konsentrasinya harus terbagi untuk menjawab beberapa panggilan telepon yang seolah tanpa henti. Yap, ia berada disituasi penuh tekanan malam itu.

Sangat kompleks masalah yang dihadapi Locke. Mulai dari masalah pekerjaan yang tiba-tiba ia tinggalkan sehingga Ia pun harus meyakinkan bossnya Gareth (Ben Daniels) melalui telepon, ia juga harus melimpahkan tanggung jawabnya kepada karyawannya yakni Donal (Andrew Scott). Lalu di antara dering telepon yang bertubi-tubi itu kadang ada juga suara anak-anaknya yang menanti kepulangannya, lalu ia pun malam itu juga harus mengungkapkan kenyataan pahit kepada istrinya, dan itu berarti menghadapi kemarahan dan kekecewaan sang istri. Di lain pihak seseorang telah menunggu kedatangannya diseberang telepon. Dan itulah yang menjadi pilihannya yang seolah tak bisa diganggu gugat lagi. Pilihan yang sangat menentukan hidup Locke.

Memang tak sekeren Buried, tak seekstrim ketegangan yang diciptakan Ryan Reynolds saat harus ketakutan didalam peti sempit sendirian. Locke menyuguhkan kepanikan yang lain. Kegusaran seorang Ivan Locke yang harus menebus sebuah kesalahan dimasa lalu, kesalahan yang tak akan mau ia balas dengan perbuatan yang sama. Tom Hardy menampilkan performa beda dari biasanya, dengan suara paraunya, dalam keadaan pilek yang juga ia ekspresikan tak kalah naturalnya, sepertinya ia berusaha tampil bijak dan tenang dalam menyikapi malam yang begitu membuatnya stres itu.

Kadang rasa bosan menghinggapi saya saat menonton film yang sepanjang durasinya hanya menyuguhkan sudut pandang Locke dengan jalanan di malam hari, tapi Tom Hardy sangat lihai memainkan ekspresi dan gerak-geriknya hingga saya tetap betah memelototi wajah gantengnya. Sebagai drama Locke cukup konsisten menciptakan suasana kekalutan, sekaligus apik dalam memaparkan drama itu sendiri. Sebagai film ruang sempit Tom Hardy cukup mampu memerankan karakter solo nya, apalagi ditunjang dengan naskah yang mengedepankan konflik moral dalam diri Locke, film ini cukup mampu menggugah kita untuk bersimpati pada Locke sebagai tokoh sentral.


5 Mei 2015

BACKCOUNTRY (2014)



Film survival tentang orang yang berpetualang ke sebuah tempat terpencil memang bukan sesuatu yang baru. Kali ini sebuah kisah nyata tentang pasangan yang menyambangi sebuah hutan yang terisolasi. Adalah Alex (Jeff Roop) dan kekasihnya Jenn (Missy Peregrym) mereka berdua merencanakan untuk berkemah di daerah hutan pedalaman yang bernama Blackfoot Trail. Sebenarnya ada sebuah misi yang akan dilakukan Alex untuk kekasihnya tsb yang akan kita tahu dipertengahan film (gamau spoiler :p).

Perjalanan mereka pada awalnya terasa normal, tak ada suatu halangan yang berarti. Mereka terlihat menikmati petualangan, sampai sore harinya, Jenn bertemu dengan sosok pria misterius yang tiba-tiba saja muncul dan bahkan disambut dengan keramahan olehnya, hingga mereka bertiga memutuskan makan malam bersama. Alex merasa terganggu dengan kehadiran Brad (Eric Balfour), bahkan Alex mencurigai Brad adalah lelaki gila, karena tidak mengetahui asal usulnya secara jelas. Keesokan harinya pasangan tsb mulai masuk lebih jauh ke hutan, tanpa peta, dengan ingatan seadanya dari Alex yang jumawa bahwa ia seakan sudah mengetahui dengan pasti seluk beluk daerah tsb. Dan teror demi teror yang tak terduga pun akhirnya bermunculan

Mungkin karena didasari oleh sebuah kisah nyata, semuanya yang tersaji terasa begitu natural dan realistis. Teror situasi hutan yang sepi dan mengancam dengan kesan sunyinya mampu membuat saya merasa ikut berjalan dibelakang Jenn dan merasa dibuntuti sesuatu. Tanpa backsound yang mendominasi, film thriller Canada ini mampu membuat adegan demi adegan begitu terasa real. Teror binatang buasnya juga tetap mengerikan walaupun hanya berupa beruang, bukan sosok binatang seperti ular atau buaya.

Teror secara psikis, kegentingan, kepanikan semuanya menyatu dengan apik dan disajikan dengan rapi. Membuat saya terkadang miris dengan nasib kedua pasangan yang terlihat saling mencintai tsb. Selain itu nuansa survival nya juga sangat terasa. Saat mereka kekurangan makanan, minuman, dan cara mereka bertahan hidup mampu digambarkan dengan begitu nyata. 

Akting mumpuni yang dilakukan keduanya jelas menunjang keseluruhan film ini. Tanpa akting yang apa adanya dan natural seperti itu, film ini tak akan bisa mengalir sebegitu rapi dan menyenangkan, hanya akan menjadi thriller kacangan. Kekurangannya mungkin film ini tidak mempunyai dasar cerita yang spesial, kecuali basic kisah nyatanya. Beruntung kisah nyata tsb mampu dituangkan dengan baik dan membuat saya setidaknya bersimpati dengan pengalaman mencekam itu. Not bad lah filmnya, pemandangan hutannya juga keren. Happy watching !!