26 Sep 2014

DALLAS BUYERS CLUB (2013)




Gimana perasaanmu ketika tiba-tiba divonis mengidap HIV/AIDS dan hidupmu tinggal 30 hari lagi? Depresi pastinya, dan pasti langsung kehilangan semangat dan ngedrop. Inilah kenyataan mengejutkan yang dialami Ron Woodroof (Matthew McConaughey), seorang ahli listrik yang juga kadang menjadi penunggang rodeo. Ia divonis menderita HIV/AIDS yang kebanyakan diidap oleh kaum homoseksual . Diceritakan film ini bersetting di Dallas, Texas, Amerika Serikat, pada tahun 1985

Kepribadian Ron yang liar, melakoni seks bebas, minum-minum hingga menggunakan obat-obatan terlarang harus mengantarkannya pada kenyataan pahit dan tak ia duga. Meski awalnya tak percaya, marah dan mengira bahwa darahnya saat ditest tercampur dengan darah orang lain, tapi Ron tak bisa menampik ketakutannya. Yap, ia pada akhirnya percaya dengan vonis itu. Ia pun sempat dilanda depresi dan frustasi. Angka 30 pun seakan menjadi momok baginya. Namun ia tak mau tenggelam dalam ketakutannya. Ia pun mulai bangkit!! Dalam kondisi lemah, Ron mulai berusaha mempelajari secara otodidak tentang penyakit AIDS dari buku-buku dan segala referensi lainnya. 

Ia pun mulai memburu AZT, zat yang diyakini merupakan obat HIV/AIDS yang masih dalam uji klinis di AS pada saat itu. Hingga pada suatu saat ia terbang ke meksiko dan bertemu dengan dokter Vasss yang justru menawarkan penyembuhan alternatif dan berbagai suplemen diet. Merasa kondisinya membaik, ia pun mulai menyelundupkan obat ilegal yang terbukti memperpanjang umurnya tsb dan menjadikannya peluang bisnis. Dari situlah ia bersama rekan sependerita-nya yakni Rayon (Jared Leto) mendirikan organisasi, Dallas Buyers Club.

Sejak awal film ini sudah membuatku tertarik dengan pesona tokoh utamanya yakni Ron Woodroof (Matthew McConaughey). Karakternya yang terkesan cuek, bebas, keras dan semau gue benar-benar melekat dibalik tubuh krempeng yang kini dimilikinya berkat diet ekstrim yang konon dilakukannya untuk menunjang penampilannya di film ini. Yap, secara fisik dan pembawaan ia sangat pantas memerankan seorang yang mengidap HIV/AIDS. Perlahan karakter sang koboy berubah menjadi rapuh dan tergoncang ketika menerima kenyataan hidupnya berada diambang kematian. Disitu ia juga mampu mendalami karakter seseorang yang depresi, dan secara manusiawi menunjukkan kelemahannya.

Selain Matthew, akting yang bagus pun juga dilakoni oleh Jared Leto. Ia difilm ini berperan menjadi Rayon, sosok transgender yang juga menderita HIV/AIDS. Ia adalah seorang homoseksual yang tak segan menggoda Ron yang seorang homophobic. Ron yang anti dengan kaum gay pun terlihat risih dengan Rayon pada awalnya. Jared Leto terlihat tak kalah kurusnya dengan rekannya tsb. Make-up nya juga sangat meyakinkan dan cantikk. Mereka berdua memang bener-bener niat dan meyakinkan banget di film ini hingga secara fisikpun rela untuk totall berubah. 

Budgetnya yang konon minim tidak lantas membuat Dallas Buyers Club menjelma menjadi film yang biasa-biasa saja. Dengan plot simpel dan berbasis kisah nyata, Jean-Marc Vallee berhasil memoles Dallas menjadi begitu memukau dengan modal dua karakternya yang kuat. Film ini berhasil mengangkat isu pada jamannya, dimana homoseksual selalu dikambing hitamkan menjadi penyebab AIDS. Konflik personal antara Ron dan tim FDA (bahan pengawas dan periijinan obat) juga tersampaikan dengan baik

Dallas tak hanya berbicara tentang isu-isu yang ada pada tahun itu. Ini juga bukan cerita klise seperti di film-film melodrama yang menawarkan adegan-adegan mengharukan dan bikin mewek sepanjang film. Memang ada keharuan di beberapa adegannya, tapi yang terasa kental disini justru tentang semangat seorang Ron Woodroof yang berhasil bangkit dari titik terendahnya pada saat divonis dokter dan berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Setidaknya mampu membuat kondisinya jauh lebih baik dan bisa melewati hari keramat yang diprediksi dokter. Ya, manusia memang selalu bisa berbicara dan memprediksi, tapi tuhanlah yang pada akhirnya menentukan.

Dan menariknya orang seperti Ron yang terlihat liar dan semaunya, dalam kondisi sebagai pesakitan tak hanya mampu mematahkan vonis dokter, ternyata ia juga perlahan bertransformasi, dan mampu memberi manfaat bagi orang lain yang bernasib sama dengannya. Ditengah kesulitan orang menemukan obat legal, ia tergerak berbisnis walaupun harus berurusan dengan FDA sampai pihak berwajib sekalipun. Ia seolah menjelma menjadi malaikat pada saat itu dimana para pengidap sepertinya kian bingung dan tak yakin dengan berbagai macam obat yang kian gencar ditawarkan dipasaran. 

Oiya, suka banget deh sama scoringnya, membuat nuansa film ini tetap nyentrik dan koboy banget, walaupun menyimpan kepiluan. Ini adalah film based on a true story yang kelihatan banget digarap dengan bener-bener niat, dengan cast yang total bermain terutama dua karakter Ron dan Rayon, dengan  pendalaman materi yang bagus sehingga menjadikan Dallas bener-bener hidup dan mampu menggambarkan keadaan pada tahun itu, dengan segala isu dan kritik sosialnya, hingga mengajak kita bersimpati dan perlahan menyelami karakter menarik kedua tokoh utamanya. Gak salah sih kalau film ini  mengantarkan Matthew McConaughey dan Jared Leto meraih Piala Oscar pada Academy Award 2014 lalu.



21 Sep 2014

GRAND PIANO (2013)




Tom Selznick kali ini akan bermain dalam konser besar dalam rangka mengenang kematian sang pianis legendaris yang juga merupakan gurunya. Setelah kegagalannya 5 tahun yang lalu dalam memainkan La Cinquette musik yang sangat susah dimainkan dan membutuhkan kemampuan luar biasa. Kini ia kembali dan berkesempatan memperbaiki citra dirinya yang saat itu sempat terjatuh gara-gara kegagalan dalam konsernya tsb. Tom tentu saja sangat nervous, gugup karena tak mau kejadian 5 tahun yang lalu terulang kembali. Apalagi ini adalah pertama kalinya ia bermain dengan grand piano yang kini diwariskan kepadanya tsb

Membayangkan menonton Elijah Wood yang demam panggung memainkan jari-jari lentiknya diatas sebuah piano besar diatas panggung megah dengan sentuhan dekorasi yang sangat berkelas. Terlihat sangat meyakinkan dan elegan memang pada awalnya. Ditambah lagi adanya teror dari seseorang yang terus mengarahkan sniper ditubuh sang pianist, mengingatkanku dengan Phone Booth tentu saja, tapi ini dalam versi yang beda dari sensasi claustrophobic dalam telepon umum. Tom memang tertekan, terintimidasi oleh sang peneror tapi lebih kepada nyalinya yang makin lama makin menciut walaupun dia berada dalam ruangan yang luas dengan penonton yang begitu banyaknya.

Permainan menegangkan pun dimulai ketika jari lentik Tom Selznick (Elijah Wood) mulai menari-nari menekan tuts demi tuts piano peninggalan gurunya tersebut. Ketika ia menyadari bahwa ada seseorang yang mengancam keberadaannya dan sang istri Emma. Sang peneror mengancam didalam lembaran partiturnya bahwa ia akan membunuhnya juga sang istri jika Tom melakukan kesalahan walau hanya satu nada saja dalam permainannya. Tak cukup disitu, sang peneror juga menyuruh Tom memainkan La Cinquette yang dulu pernah membuat ia malu setengah mati karena pernah gagal memainkannya. Tom yang menyimpan sebuah trauma karena kegagalannya dalam konser 5 tahun yang lalu pun makin demam panggung dan makin gelisah tak karuan. Namun ia tetap berusaha fokus dan tetap memainkan jarinya dengan sangat cepat, secepat degup jantungnya yang makin berkejaran

Setting film ini memang sangat megah, performa Tom pun sekilas sangat meyakinkan dengan dandanan klimisnya, baju rapih dan kerutan wajahnya yang mengisyaratkan kegugupan. Ancaman si peneror pun pada awalnya sempat membuatku merasakan ketegangan seiring dengan keresahan Tom yang mulai mengucurkan keringat dingin didahinya. Didukung dengan permainan piano yang mendayu penuh misteri mengiringi ketegangan, semua berjalan dengan tempo yang lumayan cepat tapi entah kenapa film ini terasa monoton hingga dipertengahan film. 

Entah kenapa ketegangan itu terasa makin biasa seiring dengan permainan piano dan ekspresi wajah Elijah Wood yang semakin membosankan duduk dibalik grand piano tsb. Grand piano dan semua elemen diruangan megah tersebut pada akhirnya seperti hanya membungkus semua ketegangan yang klise. Ini tak beda jauh dengan film-film thriller diluaran sana yang kemasannya mungkin lebih sederhana. Tapi Grand Piano dikemas dengan bungkus yang elegan, hanya itu bedanya. Bahkan sang peneror pun ternyata tak membuatku menjadi terkesan (biasanya kalo ada villain yang keren malah terkesan sama vilainnya), Nah di film ini sosok John Cusack ga bisa memberikan itu semua, gak semengerikan yang dibayangkan, begitupun motiv yang mendasari ancamannya

Film ini diproduseri oleh Rodrigo Cortez tapi gak berhasil membuatku terpaku dan terpesona seperti ketika menonton Buried yang lebih sederhana dan jauh dari unsur-unsur kemegahan namun jenius itu. Ini terlalu bagus diawal namun membosankan pada akhirnya. Endingnya memang menjawab semua misterinya, apa motiv dari si peneror dll tapi thriller satu ini kurang bisa membekaskan kesan yang mendalam. Memang gak buruk sih, masih ada kelebihan dari segi setting nya yang megah dan sinematografinya, tapi gak ada sesuatu yang istimewa yang membuatku akan terus mengingat adegan tertentu di film ini. Seharusnya dengan tampilan dan setting yang begitu megah dan epic, Grand Piano bisa memberikan lebih dari ini, terutama dalam penyelesaiannya.



CHEF (2014)



Dalam dunia kuliner, setiap orang pasti mempunyai ide untuk bereksperimen dan mengeksplorasi berbagai rasa. Apalagi jika kita adalah seorang chef sebuah restoran ternama pastilah ada keinginan untuk memanjakan lidah para pengunjungnya dengan citarasa yang baru. Seperti juga seorang Carl Casper (Jon Favreau), ia adalah seorang koki sebuah restoran terkenal yang bisa dibilang kreatif dan idealis, suka menciptakan kreasi masakan yang baru. Begitu pula ketika ia harus menjamu seorang kritikus makanan, ia pun telah bersiap untuk menghidangkan segala yang beda dan lezat pastinya

Namun semua ide kreatifnya tak bisa terwujud lantaran sang bos yakni Riva (Dustin Hoffman) menyuruhnya untuk membuat menu classic. Pada akhirnya ia direview begitu buruk bahkan ulasan tentang masakannya tersebut merambah luas ke dunia maya. Carl kebakaran jenggot dan sempat mendamprat sang kritikus, dan sial tanpa disadari peristiwa itu justru makin membuat reputasinya kian memburuk karena video caci makinya terhadap sang kritikus juga mulai tersebar didunia maya. Lengkap sudah kesialan yang Carl dapatkan. Dalam keadaan yang serba terpuruk tersebut, ia pun mulai mencoba bangkit dengan memulai sebuah usaha unik yakni berjualan makanan menggunakan food truck, dibantu dengan sang anak dan rekannya ia pun memulai bisnis barunya tsb

Dari film ini bisa dilihat bahwa ternyata bekerja disebuah restoran tersohor dan menjadi seorang chef ternama sekalipun bukanlah sebuah jaminan kebahagiaan. Kreatifitas yang dimiliki Carl terkungkung. Ia tak pernah memiliki kebebasan berekspresi lewat masakannya, bahkan waktu bersama sang anak pun seolah menjadi tersita. Tak disangka lewat bisnis food trucknya ternyata justru membuat hidup Carl lebih enjoy, lebih memiliki kebebasan dalam menjalani hobby sekaligus pekerjaannya tanpa merasa ditekan, tanpa merasa diatur dan itu justru yang mampu menghantarkannya pada sebuah kebangkitan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Seperti dikehidupan nyata aja deh, kadang orang lebih memilih untuk membuka bisnis kecil-kecilan, tapi memang sesuai dengan apa yang diinginkan daripada mempunyai profesi yang kelihatannya menjanjikan dan keren, tapi harus bekerja dibawah kuasa seseorang yang mempunyai misi dan visi yang kadang gak sejalan

Tak hanya mengiming-imingi kita dengan berbagai sajiannya yang membuat kita ngiler, berikut pengambilan gambar makanan yang terlihat menggiurkan, Chef juga dibungkus dengan drama, hubungan Carl dan anaknya Percy yang mulai renggang sejak sang ayah terlalu sibuk dengan pekerjaaannya didapur. Dramanya gak terlihat mendominasi, ia terasa membaur dengan hangat dibalik semangat pekerja keras seorang Carl Casper yang juga terasa sekali dalam film ini. Sempilan komedi dari dialog-dialognya pun juga cukup menggelitik.

Ditambah pula dengan penggunaan social media yang cukup mendominasi sepanjang film ini menjadikan Chef makin terasa masa kini banget. Bahkan seperti potret kehidupan jaman sekarang, dimana digambarkan seorang anak seumuran Percy justru lebih melek internet daripada orang dewasa seperti Carl. Namun disini ditunjukkan bahwa Percy memanfaatkan itu dalam sisi positif. Ya, ke-eksisannya dalam menggunakan socmed justru menjadi senjata ampuh dalam kegiatan pemasaran bisnis food truck sang ayah.

Semua elemen dalam film ini berhasil diracik Favreau menjadi sebuah tontonan lezat, selezat sandwich cubano yang ia olah. Hubungan ayah-anak juga dengan mantan istri pun ditampilkan dengan mengalir dan realististis. Film ini dengan santai mengajak kita berpetualang bersama food truck sekaligus menikmati kerenyahan komedi, juga menikmati kehangatan drama yang membalutinya. Sempet terlintas dipikiranku, enak juga kali ya jualan street food pake truck kaya di film ini, ga melulu cuma disatu tempat aja, jadi  kita yang menghampiri tempat-tempat ramai dan gak akan membosankan pastinya haha, bisa sambil liburan dan jalan-jalan juga. :D




2 Sep 2014

PRISONERS (2013)



Jujur aja gak terlalu tahu filmografi seorang Denis Villeneuve, film-film apa aja yang pernah ia sutradarai. Tapi menonton Prisoners ini membuatku jadi tergerak buat hunting film-film Denis yang lain. Terutama Incendies yang konon keren dan sejenis dengan Prisoners. Ok, jadi Prisoners ini mempunyai tema yang sebenernya gak special yaitu penculikan anak, dan yaah seperti biasanya, sang ayah sebagai sosok pahlawan keluarga lalu berusaha keras mencari sang anak, melakukan apapun untuk keselamatan anaknya. Cukup klise dan gak orisinil lagi temanya, tapii....Prisoners mempunyai pesonanya tersendiri :)

Yaa rasa-rasanya semua orang tua akan berusaha semampu yang ia bisa untuk mencari dan menyelamatkan anaknya yang hilang. Seperti yang dilakukan Keller Dover (Hugh Jackman) yang tanpa lelah dan tanpa putus asa harus pontang panting kesana kemari mencari sang putri yang berumur 6 tahun yakni Anna (Erin Gerasimovich) yang tiba-tiba saja lenyap dan keberadaannya entah dimana. Peristiwa naas itu terjadi saat Keller bersama istrinya Grace (Maria Bello) dan kedua anaknya, Anna dan Ralph, sedang berkunjung kerumah kerabatnya untuk merayakan Thanksgiving. Keller dan sang istri baru menyadari anak mereka hilang saat mereka tak menemukan anna dan Joy (putri  Franklin) yang sedari tadi bermain-main diluar rumah.

Prisoners ini ku kira bakalan mirip sama Taken, karena keduanya sama-sama bercerita tentang penculikan anak, dan melibatkan sang ayah dalam pencarian. Tapi ternyata dugaanku salah karena di film ini justru lebih menitikberatkan pada misteri yang cukup ber-labirin dan tentu saja film ini tidak secepat Taken yang notabene merupakan film action dengan tempo yang cepat. Tapi walaupun tidak seagresif film-film aksi dan temponya tergolong sedang, Prisoners tetap mampu membuat kita fokus dan terbius mengikuti setiap jengkal cerita dan misterinya.

Sepanjang dua setengah jam saya pun dengan manisnya tetap duduk tak bergeming, asyik menguliti semua misteri yang mengusik rasa penasaran. Prisoners benar-benar suguhan yang mengasyikkan, kita akan diajak mengupas setiap balutan misteri dengan beberapa petunjuk yang pelan-pelan disisipkan, hingga pada akhirnya benar-benar dipaparkan diakhir film. Seiring itu kita juga diajak menyelami karakter dari tiap tokohnya terutama karakter Keller yang menurutku sangat terlihat gegabah. Ya mungkin keresahan dan keputus asaan seseorang bisa mengubah seseorang itu menjadi sosok yang cenderung tanpa pertimbangan dalam melakukan apapun. Mungkin ini bisa jadi pesan moral, bahwasanya dalam keadaan serumit apapun pengendalian diri itu penting, jangan hanya mengandalkan emosi. Dan sikap yang ditunjukkan Keller itu kadang membuatku kurang simpatik dengannya. Walaupun tetap saja, sosok Keller sebenarnya merupakan sosok bapak yang baik dan cinta keluarga

Tak hanya menyisipkan sebuah pesan klise jangan sampai kita lengah dalam menjaga anak ! seperti sebuah puzzle, Prisoners juga mengajak kita asyik bermain, mencoba menggabungkan kepingan-kepingan clue sepanjang film. Gak ada yang benar-benar meyakinkan disini. Semuanya serba mungkin dan hanya bisa ditebak-tebak. Semua petunjuk pun juga tidak secara jelas diselipkan, semua itu membuat kita  makin penasaran. Drama-crime ini benar-benar membuatku terpaku untuk terus mantengin layar, pengen tahu apa saja yang akan terjadi, kejutan apa yang akan terkuak lagi dan begitu sang pelaku akhirnya dikeluarkan dari 'persembunyiannya' menjelang akhir film, itu sudah cukup memberikan jawaban dan cukup memuaskan, walaupun gak begitu mengejutkan tapi gak mengurangi kadar kepuasan menonton

Prisoners begitu menyenangkan mungkin juga karena dari awal, gambar dan nuansa yang ditampilkan pun sangat mewakili atmosfir yang menyelimuti film ini. Selain misteri dan atmosfir film yang mendukung ketegangan dan keasyikan menonton, para karakter di film ini juga berperan penting sehingga Prisoners menjadi sangat membekas dihati. Seperti kubilang tadi, Akting Hugh Jackman sangat gemilang dengan permainan wataknya yang kuat. Selain itu ada sosok detektif Loki (Jake Gyllenhaal) yang juga berakting dengan sangat meyakinkan. Overall bener-bener puas menonton film ini. Walaupun cuma nonton dilaptop tapi tetep aja mengasyikkan dan gak ada bosannya sama sekali padahal durasinya lumayan lama . Recomended nih buat orang-orang yang suka film-film detective dan menyukai  film bergenre drama-crime. Di jamin gak mengecewakan filmnya  :)


30 Agu 2014

OCULUS (2014)




Oculus bercerita tentang  Kaylie (Karen Gillan) dan Tim Rusell (Brenton Thwaites) yang terpisah sejak 10 tahun yang lalu semenjak orang tuanya meninggal. Tim dituduh melakukan pembunuhan atas orang tuanya dan di masukkan ke panti rehabilitasi. Diceritakan kini masa rehabilitasi Tim telah berakhir dan ia kembali bisa berkumpul dengan sang kakak. Sang kakak, Kaylie yang bekerja dipelelangan barang baru saja membeli sebuah cermin yang ia duga sebagai penyebab kejadian yang menimpa keluarganya 10 tahun lalu.

Tim yang tidak percaya bahwa tragedi yang menimpa keluarganya dahulu adalah karena ulah cermin tua tersebut sebenernya cukup skeptis dengan pendapat sang kakak dan menolak saat diajak untuk ikut membalas dendam dan melakukan pembuktikan hal-hal supranatural pada cermin yang disebut dengan lasser glass tsb. Sementara Kaylie terlihat sangat bersemangat untuk menyiapkan semuanya, seperti memasang kamera, alarm, penghancur cermin dsb

Sebenarnya Oculus cukup membuatku penasaran dengan hal mengerikan apa yang akan disuguhkan. Bertema sebuah cermin kuno pastinya akan sangat creepy dan nuansa terornya akan dapet banget. Dari posternya juga semakin mendukung untuk berekspektasi lebih pada film besutan Mike Flanagan ini. Dan ternyata film ini gak sesimple budgetnya yang konon minim. Alur film ini malah tergolong rumit dan tumpang tindih gak karuan karena maju mundur dan bercampur baur antara masa lalu dan masa kini

Walaupun sempet bengong pada awalnya, tapi akhirnya mulai terbiasa juga dan mulai paham gaya bercerita Mike Flanagan yang sepertinya menginginkan kita untuk tidak sekedar bersantai dan menonton tapi juga harus mikirr. Yaa ..jangan berharap anda akan duduk manis dan terlena doank, terbuai tanpa harus mengerutkan dahi saat menonton film ini :D 

Teror Oculus ternyata tak seperti dugaanku yang mengira bahwa si cermin tersebut bisa meneror secara frontal, karena ternyata Flanagan lebih menekankan untuk meneror penonton dari sisi psikologisnya, sedikit mengingatkan pada Sinister, tetapi ini jauh lebih rumit dan lebih memaksa kita untuk capek-capek mikir, memilah dan menduga mana yang merupakan kenyataan dan mana halusinasi. Hadehh ribet :)

Dan menurutku Oculus tuh kayaknya lebih ke thriller psychological deh karena adegan-adegan gorynya lebih mendominasi ketimbang jump scare dan hantu-hantuannya. Buat yang gak kuat nonton darah, film ini tidak di rekomendasikan, karena pasti bakalan kebayang adegan di beberapa scene-nya. Walaupun gak ekstrim juga gorenya tapi cukup membuat perasaan gak nyaman. Salah satu kelebihan Oculus, walaupun terkesan kelam adalah pemilihan endingnya, Adegan endingnya termasuk bagus dan paling memorable menurutku.

Secara ide cerita memang gak terlalu fresh ya tema nya, tentang benda kutukan gitu. Tapi kelebihan film ini ada di gaya penceritaannya dan alurnya yang mondar mandir dari masa lalu ke masa kini secara bercampuran. Membuat oculus menjadi sebuah horor yang beda, mengajak penonton ikut bermain dengan fantasinya masing-masing. Oculus sepertinya gak mau terjebak dengan pakem horor pada umumnya yang biasanya secara runtut dan gamblang membawa penonton pada momen momen mengerikan. Dan itu jadi nilai plus film ini menurutku

Tapi Oculus gak sepenuhnya bagus, Kekurangan film ini pas film berakhir agak kurang puas karena beberapa misteri masih menggantung diakhir film, seperti misteri tentang cermin tersebut yang gak terungkap jelas. Intinya buat orang yang hobi mikir, mungkin film ini cocok karena membutuhkan imajinasi dan kreatifitas otak, tapi buat tipe penonton yang simpel dan gak mau ribet, maka akan sangat membosankan dan membingungkan. Happy watching ..


27 Agu 2014

ONE HOUR PHOTO (2002)





Ketika seseorang terobsesi pada sesuatu maka ia cenderung memandang sesuatu itu sebagai hal yang sangat sempurna, tanpa cacat. Bahkan berkhayal untuk bisa masuk menjadi bagian dalam dunia yang menjadi obsesinya tersebut. Tanpa sadar objek yang menjadi obsesinya itu juga tidak sesempurna apa yang ia bayangkan. Maka mulailah ia merasa tidak terima dengan kenyataan tsb dan mulai berusaha mengembalikan citra sang objek obsesi sesuai dengan apa yang ia pikirkan.  Kira-kira begitulah yang bisa ditangkap dari film lawas berikut ini.


Sy Parrish (Robin Williams). Ia adalah seorang tukang cuci cetak photo disebuah pusat perbelanjaan yang bernama SavMart. Telah bertahun-tahun ia dedikasikan hidupnya untuk bekerja dalam bidang cuci cetak foto. Selama puluhan tahun berkerja ia pun telah banyak mengenal para pelanggan setianya. Salah satu pelanggan yang menarik perhatiannya adalah Nina Yorkin. 

Nina Yorkin mempunyai keluarga kecil yang bahagia. Mempunyai kehidupan yang harmonis bersama suami dan anak lelakinya, terlihat dari foto-foto yang ia cetakkan dan itu membuat seorang Sy yang kesepian menjadi terobsesi dengan keluarga tsb. Ia mulai mengagumi dan bahkan berkhayal masuk menjadi bagian keluarga tsb hingga sesuatu yang tidak ia pikirkan tiba-tiba saja terungkap. 


One Hour Photo film yang bagus menurut saya. Ga banyak adegan darah-darahan tapi berhasil membuatku merasakan aura psikopat itu hanya dari melihat mimik muka Sy Parrish. Yaap, Robin Williams aktingnya keren banget di film ini. Tatapannya seperti benar-benar menyimpan sesuatu, sekilas seperti psikopat yang didepan berwajah manis, terlihat ramah tapi bisa saja menjadi sosok mengerikan dibelakang. Dan itu membuatku berasumsi negatif terhadapnya. Dan ia berhasil, berhasil banget bikin pencitraan kaya gitu dari awal film. 

Sepanjang film saya pun di buat sibuk menebak-nebak watak asli dari Sy, apa yang akan ia lakukan, dsb. Dan film ini berhasil membuat twist manis yang ga ketebak, melenceng jauh dari perkiraanku. Keren banget.  Setelah menggiring otak kita untuk berasumsi macam-macam, dengan kalemnya film ini mengecoh kita dan mengakhiri film dengan jalannya sendiri.

Film ini seolah juga mengingatkan kita dengan selipan pesan moralnya, jika kita telah ''beruntung'' mempunyai keluarga lengkap dan bahagia hendaknya tidak menodai apa yang sudah kita punya. Harus bersyukur dengan apa yang sudah kita dapatkan, tidak mengkhianati kepercayaan keluarga, karena sejatinya memiliki keluarga yang hangat dan bahagia itu sangat mahal harganya. Setidaknya bagi seorang Sy Parrish 


24 Agu 2014

DUEL (1971)

 

Film jadul satu ini punya dasar cerita yang simpel sesimpel-simpelnya, dan cocok untuk ditonton saat sedang penat karena ini sangatlah menghibur. Ga perlu mikir cukup duduk manis dan lihatlah betapa cerdasnya seorang Steven Spielberg dalam mengajak kita mengikuti permainannya. Pertamanya sedikit ga percaya kalo film ini adalah salah satu karya dari Spielberg karena biasanya film-film beliau adalah film-film besar, dengan big budget, dengan segala kecanggihan efeknya. Ternyata dimasa lalu ia pernah membuat sebuah road movie-thriller berbudget minim namun genius seperti ini.

Jadi ada seorang pria paruh baya yang bernama David Mann (Dennis Weafer). Ia adalah seorang salesman barang elektronik. Suatu hari ia sedang menempuh perjalanan melewati pinggiran California untuk menemui klien bisnisnya dengan mengendarai sebuah sedan merah tua. Pada awalnya ia terlihat sangat menikmati perjalanannya. Sambil mendengarkan radio dimobilnya ia terlihat santai menyetir, sesekali tertawa karena lelucon yang ia dengar dari obrolan di radio yang setia menemani perjalanannya.

Tak lama kemudian sang trouble maker pun muncul, sebuah truk besar mulai mengganggu perjalanannya. Pada mulanya David tak sedikitpun menaruh curiga pada truk diesel tersebut, dan ia pun mulai menyalipnya. Tapi semakin lama truk tersebut mulai berulah. Truk besar tersebut mulai menghalanginya, menghadangnya, bahkan ia beberapa kali terlihat ''mengerjai'' David dan sepertinya sang pengemudi truk mulai ''stres''. Beberapa kali truk tersebut mengklakson dan pada akhirnya mau tak mau memaksa David untuk terus melaju, meningkatkan kecepatan mobilnya. Si truk pun makin membabi buta mengejar sedan kecil David , dan David makin lama makin merasa terteror oleh truk tersebut.

Dan seperti itulah yang akan terjadi sepanjang film. Duel antara dua kendaraan yang mempunyai ukuran tak sebanding. Sedan merah tua yang bisa saja terlindas truk raksasa, melawan truk diesel yang terlihat kokoh dan angkuh. Sepanjang film sungguh membuatku penasaran dengan si sopir truk misterius. Entah siapa supir truk stres yang berada dibalik kemudi tsb, tak pernah diperlihatkan wajahnya. Hanya sesekali tangannya terlihat dari luar. Rasa penasaran yang mengusik David pun makin mengganggunya ketika ia berkali-kali terlihat melakukan monolog saat berhenti disebuah cafe.

Film ini sangat asyik dinikmati. Walaupun hanya bersetting disepanjang pinggiran California yang sepi tapi film ini ga bikin jenuh dan ngantuk. Justru minimnya setting, minimnya pemain dan minimnya dialog membuat Duel makin terlihat cerdas. Hanya bermodalkan ketegangan, kemudian sedikit kepintaran Spielberg menularkan emosi David kepada penonton film inipun sukses memikat hati. Saya pun berasa seperti sedang berada satu mobil dengan David, ikut merasakan keringat dinginnya saat dikejar-kejar truk gila tsb. Sekilas film ini mengingatkanku pada filmnya Kurt Russell, Breakdown (1997). Nuansanya sedikit sama, settingnya juga dijalanan nan sepi dan tandus. Bedanya cerita Breakdown agak lebih kompleks dan meluas, tidak sesederhana film ini

Film-film seperti ini adalah film yang selalu membuatku berdecak kagum. Film dengan satu orang yang disorot sepanjang film, hanya dengan beberapa figuran, namun berhasil menyeret kita sepanjang film untuk bisa terlibat emosi. Bahkan tak hanya membuat kita tegang, film ini pun sesekali membuatku cekikian sendiri. Selain dialognya yang terlihat polos dan apa adanya khas film jaman dulu, aku pun juga menikmati sekali nuansa klasik dalam film ini.

Intinya jangan mengharap lebih dari rasa penasaran itu, nikmati aja semua, pasrahlah kemanapun David membawamu melintasi pinggiran jalanan sepi itu. Nikmati setiap pacuan adrenalin, nikmati aja setiap lonjakan emosi hingga film berakhir dan kamu akan merasakan asyiknya nonton film ini. Memang sedikit kurang terpuaskan dibagian klimaks tapi proses menuju ke klimaks dan ketegangan itu sesungguhnya yang ingin ditonjolkan dari film ini. Dan kalau saya sih cukup kagum dengan kemasan film ini, berikut pengambilan gambarnya yang selain memang vintage (karena merupakan film lawas), juga pergerakan kamera yang ga ngebosenin. Film lawas yang tidak boleh kamu lewatkan !


23 Agu 2014

NON-STOP (2014)



Liam Neeson, ehemmmmm. Aktor satu ini masih saja keren yak diusianya yang tak lagi muda. Pesonanya masih saja terpancar, kharismanya juga masih melekat kuat dibalik kerut wajahnya yang samar. Ia masih nampak gagah dan ganteng dalam film-film bergenre aksi yang dimainkannya, termasuk di film yang berjudul Non-Stop. Sesuai judulnya, film ini juga tanpa henti memberikan suguhan ketegangan yang intens lewat aksi heroik dari aki Liam. Di film ini Liam Neeson bermain dengan Julianne Moore yang pernah berpasangan juga dengannya dalam Chloe. Sangat tertarik waktu tau jajaran castnya ada mereka berdua. Keduanya merupakan aktor dan aktris senior yang tak diragukan lagi kemampuan aktingnya

Dalam film ini Liam berperan menjadi Bill Marks, seorang polisi udara yang sedang menjalankan tugasnya untuk mengamankan penerbangan ke London. Sesaat setelah pesawat lepas landas, Bill tiba-tiba menerima pesan singkat yang intinya mengancam akan membunuh 1 orang yang ada dipesawat setiap 20 menit jika Bill tidak mentransfer uang sebesar 150 juta dollar. Pada akhirnya Bill bersama sang pramugari yang bernama Nancy (Michelle Dockery) dan teman sebangkunya Jen Summers (Julianne Moore)  harus berjuang keras untuk menghentikan aksi si pembunuh  sekaligus mengungkap dan mengidentifikasi siapakah sang pelaku misterius yang juga berada dalam satu pesawat tsb

Dari segi ceritanya Non-Stop jelas menarik bagiku, karena film thriller misteri, bersetting di pesawat memang selalu asyik untuk dinikmati. Walaupun memang bukan tema baru tapi nuansa mencekam di atas ketinggian tetap saja jadi suguhan menarik buatku. Mengingatkan dengan Flightplan, yaa film ini mempunyai ide cerita dan nuansa yang mirip dengan film yang dibintangi Jodie Foster tsb. Film yang disutradari oleh Jaume Collet-Serra (Orphan) ini sekilas juga mempunyai kemiripan dengan Red Eye yang juga menawarkan ketegangan serta intimidasi di atas ketinggian. 

Seperti thriller misteri yang lain, film ini juga mengajak kita menebak-nebak dan sok-sok an menganalisa siapakah sang pelaku pembunuhan. Saya pun juga diam-diam menduga-duga  karena beberapa orang yang ada didalam pesawat itu  memang memiliki gesture dan sikap yang aneh dan membuat penonton kadang menaruh curiga. Beberapa orang yang justru tak terlalu ditonjolkan pun sempat jadi tersangka utama di otak ini. tapi ternyata dugaanku meleset haha.

Kesan setelah menonton Non-Stop, film ini  benar-benar menghibur dengan segala suguhan misteri dan ketegangannya yang intens. Walaupun memang ada beberapa kekurangan maupun kejanggalan, tapi apalah arti semua kekurangan itu kalo keseluruhan filmnya aja udah asik. Pada akhirnya ya tetep menikmati karena akting para pemainnya pun juga sangat total, jadi semua kekurangan seolah termaafkan dan tertutupi. Yang pasti tempo film ini lumayan cepet, jadi ga berpotensi bikin bosen :))



13 Feb 2014

KAHAANI कहानी (2012)



Kahaani adalah drama thriller buatan bollywood yang rilis di tahun 2012 lalu. Dalam film garapan Sujoy Gosh ini bisa dibilang nuansanya sangat berbeda dengan film-film india kebanyakan, karena sepanjang film akan sangat kental dengan misteri dan ketegangan. Menarik sekali karena selama ini film india seakan ga bisa dipisahkan dari image tari-tarian, drama keluarga, percintaan dan segala hal menye-menye lainnya. Namun kali ini justru thriller dan misteri yang diusung lebih mendominasi. Sangat menarik bagiku karena tak banyak film india yang membekas di hati dari segi tema dan ceritanya

Kahaani bercerita tentang seorang wanita bernama Vidya Bagchi (Vidya Balan), seorang wanita yang sedang hamil tua. Ia sengaja datang sendirian dari London ke Kalkuta india untuk mencari Arnab Bagchi (Indraneil Sengupta), suaminya yang konon hilang saat bekerja disana. Namun usaha pencariannya sepertinya menemui kejanggalan saat semua orang tak ada yang mengenali sang suami dan menyatakan tak pernah ada seorang yang bernama Arnab, bahkan ditempat sang suami bekerja yaitu National Data Centre (NDC). Dalam pencariannya Vidya dibantu seorang polisi muda bernama Rana (Parambrata Chatterjee). Mereka melakukan pencarian-pencarian diseluruh pelosok kota yang kala itu sedang menyiapkan festifal Durga Puja

Ibarat makanan Kahaani adalah sebuah sajian fresh yang dikemas dengan sempurna. Cita rasanya pun sangat komplit, ada nuansa kejar-kejaran khas film thriller, ada nuansa detektifnya, ada juga sempilan dramanya walaupun tidak mendominasi. Scoring nya pun menambah nuansa misteri yang sudah ada jadi lebih terasa. Segala teka tekinya mampu mengutak atik otak, bahkan menjungkirbalikkan apa yang sudah diperkirakan dari awal, karena film ini mempunyai twist yang sangat mengejutkan.

Akting Vidya Balan adalah yang paling utama disini. Ia adalah sosok wanita yang paling disorot dari awal. Sosok wanita biasa yang terlihat lemah dan rapuh, apalagi dalam kondisi kehamilan 7 bulannya, harus mencari sang suami sendirian. Ia jelas mampu menarik simpati banyak orang. Karakter Vidya Bagchi disini ia tampilkan sangat total. Rasanya seumur-umur ga pernah ngidolain bintang bollywood tapi ngeliat akting Vidya Balan, rasanya mulai mengidolakannya deh haha, selain cantik, aktingnya juga sangat  ciamikkk !

Bagi kamu penggemar film bollywood, rasanya wajib menonton film ini, karena ini jelas sangat berbeda dari film india kebanyakan. Alurnya lumayan cepat dan ga ngebosenin, ceritanya seperti film-film detektif barat tapi tetep gak meninggalkan berbagai macam budaya india seperti festifal puja durga, juga tak lupa potret kehidupan masyarakat disana juga digambarkan dengan sangat bersahaja dan natural. 

Dan karakter Vidya Bagchi mungkin memang tepat jika konon dijadikan simbol perwujudan dewi durga. Ia menyimpan aura feminim yang kental. Namun begitu, sebenarnya seorang wanita juga tak pantas dianggap lemah karena dalam diri wanita sejatinya ada suatu kekuatan. Itulah sepertinya pesan utama yang ingin disampaikan Kahaani lewat tokoh utamanya tsb.

Overall Kahaani adalah sajian yang berbeda dan sangat menarik. Menegangkan, penuh teka teki dan sarat kejutan. Tanpa berbagai macam tarian, tanpa adegan tangis-tangisan yang mendominasi, tanpa adegan nyanyi-nyanyian sambil main petak umpet :p. Tanpa itu semua Kahaani nyatanya tetap mampu tampil hebat. Membuktikan bahwa sebenarnya sineas bollywood mampu membuat sebuah thriller yang gak kalah dengan perfilman barat. Film terbaik india yang pernah kutonton. Highly recomended !!



5 Feb 2014

AFTERSHOCK / TANGSHAN DADIZHEN (2010)


 

Aftershock adalah sebuah disaster movie Cina berdasarkan kisah nyata. Film ini juga diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karangan Zang Ling. Menceritakan tentang tragedi gempa bumi yang pernah terjadi di China. Yaitu tragedi gempa bumi Tangshan pada 28 Juli 1976. Dan pada akhirnya cerita di film ini juga menghubungkan dengan peristiwa gempa bumi Sichuan di tahun 2008 silam. Film ini dibuat untuk memperingati gempa di Tangshan yang menewaskan sekitar 240 ribu korban jiwa, dan juga untuk memperingati kebangkitan kembali kota tsb.

Gempa Tangshan menjadi latar belakang utama film yang dibesut oleh Feng Xiaogang ini. Dimana pada suatu malam satu keluarga lengkap yakni pasangan suami istri Yuan Ni dan Fang Daqiang dengan dua orang anak kembarnya ( Fang Deng dan Fang Da) harus mengalami peristiwa memilukan yaitu gempa bumi maha dahsyat yang menyerang kota Tangshan. Daqiang dan istrinya yang sedang berada diluar apartemen terkejut ketika gempa berkekuatan 7,8 SR tersebut menguncang. Karena peristiwa tersebut suami Yuan Ni meninggal dunia. Ia berkorban nyawa untuk sang istri yang berniat menyelamatkan dua anaknya yang kala itu terjebak di apartemen. Daqiang pun harus meninggal karena terkena reruntuhan. Hati Yuan Ni sangat terguncang melihat kenyataan sang suami harus meninggalkannya, seperti guncangan dahsyat yang seakan tak henti memporakporandakan semua bangunan.

Hati Yuan Ni makin sakit ketika melihat kenyataan dua anaknya di temukan dengan kondisi tertimpa beton. Parahnya lagi ia harus menghadapi pilihan sulit. Jika tim mengangkat salah satu sisi dari beton itu, maka salah satu anaknya akan selamat namun akan membunuh salah satu dari mereka. Para penyelamat meminta Yuan untuk memilih mana diantara anaknya yang ingin diselamatkan. Awalnya Yuan Ni menolak untuk memilih, tapi karena tim penyelamat terus mendesak agar memilih, maka Yuan Ni pun dengan berat hati akhirnya memilih salah 1 dari mereka untuk diselamatkan. Tak disangka salah satu anak yang di korbankannya yang diduga telah meninggal ternyata tanpa sepengetahuannya masih hidup dan diadopsi oleh seorang tentara penyelamat

Si anak tersebut pun akhirnya menjalani hari-hari hingga ia dewasa dengan keluarga barunya, sementara Yuan Ni bersama satu anaknya melanjutkan hidupnya. Begitulah pada akhirnya hari demi hari, masa demi masa pun berganti. Film ini berjalan dengan durasi sangat panjang karena menceritakan kehidupan beberapa generasi. Tapi gak terasa membosankan sih. Justru kalo menurutku detailnya film ini dalam memaparkan tiap jenjang kehidupan si anak dari kecil hingga dewasa itu yang menarik dan asik dinikmati.

Jadi peristiwa bencana  hanya menjadi pondasi cerita saja, selebihnya hanyalah diperlihatkan bagaimana Yuan Ni dan kedua anaknya melanjutkan hidup dengan keluarga masing-masing setelah peristiwa memilukan tersebut. Bagaimana Yuan Ni tetap bisa bertahan selama 32 tahun, menyimpan kepedihan dan rasa kehilangan yang mendalam. Bagaimana si anak yang dikorbankan menyimpan rasa trauma, rasa kecewa karena mengingat bahwa ia tak pernah dipilih oleh sang ibu saat itu. Sampai akhirnya semua emosi seperti meledak di akhir film. Berbagai macam perasaan, rasa bersalah, luka, kenangan seperti membuncah di akhir film ini yang membuat air mata ini selalu menggenang dan akhirnya berderaian.

Film ini memang berhasil dalam memaparkan semua melodramanya yang membuatku larut dalam keharuan. Tapi entah kenapa kok agak kurang greget ya dibagian menuju klimaks nya. Rasanya kurang dramatis, terutama saat dilokasi gempa Sichuan, harusnya bisa lebih emosional lagi dan gak terburu-buru. Yang kurasakan ada beberapa scene yang terlalu cepat berganti dan dipersingkat dibagian tertentu, jadi mengurangi efek dramatis itu sendiri. Tapi mungkin memang untuk mempersingkat cerita, mengingat film ini mencakup beberapa generasi. Tapi tetap saja, kalau menurutku bagian menuju klimaks itu ga boleh terburu-buru karena termasuk pokok /yang dinanti-nantikan

Tapi secara keseluruhan sih keren. Suka sekali dengan penggambaran gempa di Tangshan pada awal film. Terlihat nyata dan dramatis sekali. Suasana lusuh dan dark-nya juga terasa. Pergantian nuansa masa lalu dari tahun ke tahun sampai akhirnya ke masa kini juga ditampilkan dengan natural. Akting para pemainnya pun total. Suka sekali dengan akting ayah angkat Deng (Daoming Chen). Kualitas akting Fang Deng dewasa (Jingchu Zang) juga cukup apik dan berkesan. Begitupun akting sang ibu, Yuan Ni  (Fan Xu) ia terlihat menjiwai. Raut muka keibuannya seperti benar-benar menyimpan luka, kadang terlihat rapuh, ada kelembutan namun disisi lain juga menyimpan kekuatan dan ketegaran.   

Salah satu drama mandarin yang sangat mengesankan. Penuh nilai-nilai kehidupan dan sangat menyentuh. Mengajarkan banyak sekali hal, Tentang arti pengorbanan, tentang kasih ibu yang tak lekang oleh waktu, tentang pentingnya saling tolong menolong. Hmmm keren banget lah..