14 Nov 2013

THE FLU (2013)



Flu adalah virus yang tergolong cepat dalam penularannya. Dalam keseharian saja kita bisa dengan cepatnya terserang flu hanya karena berinteraksi dengan orang yang sedang mengidapnya. Namun ternyata virus flu bisa juga berdampak besar hingga membuat kekacauan disebuah negara. Berawal dari sebuah box container berisi sekelompok mayat imigran yang diselundupkan dari Filipina, Bundang salah satu kota di Seoul tiba-tiba saja terserang wabah H5N1 atau flu burung. Virus ini bermutasi menjadi virus yang sangat mematikan dan dengan cepat menularkan virus ke seisi kota Bundang melalui udara setelah satu-satunya imigran yang masih hidup berhasil lolos dari container

Bisa ditebak kelolosan dari sang survivor mengakibatkan efek besar bagi kota Bundang. Hanya dari satu orang yang melakukan interaksi, kemudian virus itu  merembet ke orang lainnya. Kurang dari 24 jam virus itupun menyebar dengan cepatnya, bahkan bisa menewaskan 1000 orang dalam kurun waktu satu jam. Orang yang tertular kondisi tubuhnya langsung melemah, kemudian batuk berdarah, lalu tiba-tiba saja roboh saat melakukan aktivitasnya. Mengerikan apa yang disuguhkan oleh  Kim Sung-Su, sebuah disaster movie tentang virus mematikan tapi benar-benar di buat dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dikehidupan nyata

Dibuka dengan sentuhan komedi khas korea, cerita terus digeber sampai pertengahan film. Cerita kemudian berfokus pada wabah yang menimbulkan kekacauan tersebut. Yang paling menyenangkan Kim memompa ketegangan dengan sangat intens. Kebanyakan film korea terlalu berbelit-belit dan lambat dalam eksekusinya, tapi beda ketika menonton The Flu ini. Perlahan Kim mulai mengaduk emosi kita dari awal film ketika si tokoh utama mengalami kecelakaan. Ia seolah ingin mengajak kita pemanasan sejenak sebelum pada akhirnya ia membawa kita pada ketegangan yang sebenarnya. Dan setelah permasalahan utama dipaparkan kitapun telah siap untuk ikut merasakan kegentingan yang terjadi, ikut merasakan dampak dari wabah flu yang menyebar dengan cepat secepat tempo film ini dalam menggambarkan kekacauannya

The Flu tentu saja tidak hanya berfokus pada disaster movie, bukan film korea namanya kalau tidak mengusung unsur drama. Sorotan utama film ini adalah si petugas pemadam kebakaran Ji goo (Jang Hyuk) dan si dokter muda nan cantik In-Hae (Soo-Ae). Keduanya pernah bertemu di awal film ini saat Ji Goo menyelamatkan In-Hae ketika ia mengalami kecelakaan mobil,  In-Hae  mempunyai seorang putri yang lucu dan sangat menggemaskan yaitu Kim Mi Reu (Park Min Ha) yang karena suatu hal menjadi dekat juga dengan Ji Goo. 


Bicara masalah akting, chemistry mereka bertiga sangat-sangat klik. Keterikatan emosi diantara mereka juga sangat terlihat terutama antara In-Hae dan Mi-Reu. Akting luar biasa juga diperlihatkan Park Min Ha (Mi-Reu) yang tanpa disangka bisa sebegitu pintarnya memerankan seorang anak kecil yang mampu menggambarkan ketakutan-ketakutannya. Ia mampu mengekspresikan seorang anak yang selalu ingin dekat dengan sang ibu ketika terpisah. Segala ekspresi, terutama tangisan Mi Reu juga pastinya membuat kita iba dan juga kagum, karena anak sekecil itu bisa sangat pandai mengolah mimiknya. Juga kepolosan, celetukan dan keimutannya juga bikin gemes banget :3

Film ini tidak hanya membuat kita tegang dan ikut merasakan kehebohan yang terjadi di kota Bundang, tidak hanya menggambarkan betapa ricuhnya situasi korea dengan segala keputusan pemerintah yang harus diambil, berikut tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk menekan angka kematian yang semakin bertambah. Ditengah segala kekacauannya diselipkan juga keharuan khas film korea dengan segala adegan yang berpotensi membuat kita mewek, minimal berkaca-kaca.


Mungkin bagi sebagian orang yang tidak terlalu suka dengan sentuhan melodrama akan merasa film ini terlalu mendramatisir suasana dibeberapa bagiannya. Tapi buatku tidak terlalu mengganggu sih sentuhan-sentuhan melow yang dihadirkan. Malah menjadikan film ini terasa lebih komplit karena tidak melulu mengusung tema bencana tapi juga diselipkan perihal hubungan ibu dan anak . Adanya romansa cinta antara Ji Goo dan In Hae sedikit banyak juga melengkapi cerita melodrama yang sudah dipaparkan sejak awal, memberi sedikit penyegaran untuk penonton yang dari tadi dibuat stres sepanjang film. Kalaupun ada sedikit kekurangan, mungkin hanya dibagian akhir saja. Agak terlalu lama waktu yang dibutuhkan sampai akhirnya dibawa menuju klimaks. 

The Flu overall sangat memuaskan. Film yang mungkin dengan cepat juga akan berpotensi meninggalkan sebuah trauma kecil saat mendengar orang batuk-batuk, yang jika itu terjadi berarti film ini telah berhasil membawa penonton masuk dalam ceritanya. Sebuah disaster movie berbalut drama dengan segala kegentingannya yang maksimal, dengan segala melodramanya juga yang mengharu biru tapi gak lebay, semuanya digarap dengan meyakinkan sehingga The Flu pada ahirnya tetap terlihat manusiawi dan real. 



12 Nov 2013

ADORE / TWO MOTHERS (2013)


 

Lil (Naomi Watts) dan Roz (Robin Wright) adalah dua orang yang bersahabat karib sejak kecil. Setelah masing-masing dewasa kini mereka hidup bertetangga disebuah pinggiran pantai didaerah New South Wales. Lil adalah seorang janda, kini ia tinggal bersama sang putra Ian (Xavier Samuel)  begitu juga Roz, ia adalah istri sekaligus ibu dari seorang anak laki-laki remaja bernama Tom (James Frecheville). Seperti Lil dan Roz, kedua anak lelaki mereka juga bersahabat dekat. 

Plot yang terlihat normal, sederhana dan bahkan klise sampai disini. Tapi tahukah bahwa sebenarnya film ini menyimpan ketidakwajaran. Debut bahasa inggris pertama dari Anne Fontaine ini merupakan film yang mempunyai tema aneh dan gak wajar. Film yang mengangkat tema persahabatan pastilah sudah sangat banyak diluar sana dengan segala konfliknya yang beraneka ragam. Adore bisa dibilang cukup berani mengusung tema yang gak biasa. Percintaan antara remaja dengan wanita yang lebih matang, yang gilanya adalah sahabat dari ibu mereka sendiri


Sangat kontroversial apa yang diusung film yang diadaptasi dari cerita pendek The Grandmothers  karagan Doris Lessing ini. Apapun alasannya percintaan di film ini menurutku tetaplah tidak wajar dan aneh. Menjadi aneh karena yang dicintai adalah ibu dari sahabat dekat sekaligus merupakan sahabat dari ibu mereka sejak kecil, Tapi cukup fresh sih tema yang coba dihadirkan Anne, menyoroti cinta terlarang, sebuah skandal yang melibatkan orang-orang yang tidak seharusnya menjalin hubungan lebih.

Satu yang menjadi alasan tetap betah menonton film ini, setting film ini benar-benar indah dan eksotik. Sepanjang film di dominasi suasana pinggiran pantai nan sejuk berhiaskan gulungan ombak. Latarnya memang indah dan sedap dipandang mata namun tidak dengan alur film ini. Adore berjalan sangat lambat dan membosankan, hampir saja dibuat ketiduran karena alurnya yang terkesan bertele-tele. 

Intinya Adore hanyalah sebuah drama tentang persahabatan, mengusung tema cinta yang tak lazim, dibingkai dengan keindahan suasana pantai yang 'untungnya' lebih terasa membius daripada sekedar tema yang dihadirkan. Dengan menggandeng para cast yang semuanya menampilkan performa standar. Pada akhirnya ya tergantung pendapat tiap orang, mau menilai film ini seperti apa. Toh film ini hanya memberi gambaran tentang cinta terlarang dengan segala masalahnya yang kompleks. Yaah..cinta memang gak pernah salah. Ia gak pernah tau dan ga bisa memilih dimana akan melabuhkan asmaranya, tapi alangkah bijaknya jika manusia tetap menggunakan logika dalam bercinta :)


8 Nov 2013

GRAVITY (2013)



Perjuangan Tom Hanks yang terdampar di sebuah pulau terpencil pernah kita saksikan di film Cast Away, cerita sekelompok orang yang terjebak dalam lift juga pernah kita saksikan dalam sebuah thriller supranatural bertajuk Devil di tahun 2010 lalu. Ditahun yang sama muncul juga Buried, mengajak kita mencicipi sensasi claustrophobia dalam sebuah peti mati. Menyusul kemudian film-film 'terjebak' lain yang makin menjamur mengikuti trend film ruang sempit. Tapi sepertinya belum ada film survival yang menceritakan tentang seorang yang terjebak di ruang angkasa dan melayang-layang dititik nol gravitasi

Sangat menarik apa yang disuguhkan Alfonso CuarĂ³n kali ini. Sutradara dan juga penulis asal meksiko yang juga pernah menggarap Children of Men itu memunculkan film sci-fi berbalut survival berjudul Gravity. Bercerita tentang seorang teknisi biomedis bernama Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) yang sedang menjalani misi luar angkasa pertamanya ditemani astronot veteran bernama Matt Kowalski (George Clooney). Namun naas ketika sebuah satelit rusia mengalami kegagalan dan serpihannya menyebar hingga merusak pesawat ulang alik yang ditumpangi tim Stone. Sayangnya peringatan yang disampaikan pusat pengendali terlambat datangnya dan Stone sudah terlanjur terhempas dan terkatung-katung diangkasa luar dengan persediaan oksigen yang menipis. Pada akhirnya ia harus terpisah dari Kowalski dan harus berjuang sendirian di luar angkasa untuk bisa kembali ke bumi.

Walaupun mempunyai plot yang simpel namun Gravity dibalut dengan sinematografi yang sangat megah. Pengambilan gambarnya benar-benar detail dan sangat memanjakan mata. Pemandangan luar angkasa yang gelap dipadu dengan scoring arahan Steven Rice makin menambah kesan dramatis diruang hampa udara. Yang membuatku kagum adalah visual efeknya terutama penggambaran bumi yang diperlihatkan dari luar angkasa, benar-benar indah dan terlihat nyata. Pengambilan gambar long shot dibeberapa adegan sebenarnya sedikit memancing kebosanan namun justru efektif dalam memberikan efek real dan membuat penonton lebih merasakan apa yang dialami oleh Stone

Tidak hanya visual efek dan sinematografi yang mengagumkan, Gravity juga mempunyai pesan moral yang cukup dalam. Bagaimana semangat Stone untuk tetap bertahan hidup dalam keadaan terdampar jauh diluar angkasa, melawan semua ketakutan dan terus mencoba optimis. Dan ternyata semangat hidup itu justru didapatkan saat ia berada dalam keadaan terdesak dan saat berada diambang kematian. Ya, film ini seolah  mengingatkan bahwa terkadang manusia lupa jika hidup itu sangatlah berharga, sampai saat berada dalam situasi sulit, maka manusia baru merasa betapa berartinya sejengkal udara, betapa bermaknanya sebuah nafas kehidupan. Betapa bumi adalah tempat paling nyaman sesulit apapun, sejenuh apapun yang dijalani

Film ini memberikan suntikan semangat juga untuk penonton. Setelah diajak melayang-layang diluar angkasa selama hampir 2 jam, ikut merasaan sesak napas dan kekurangan oksigen, pada akhirnya kita kembali diijinkan menghirup limpahan udara dengan rasa syukur yang lebih, merasa terlahir kembali dengan semangat yang baru. Itulah Gravity, sebuah tontonan yang tak hanya membuat kita berdecak kagum akan keindahan efek-efeknya, namun juga ada sisi lain yang lebih dalam lagi, seperti halnya Life of Pi yang bukan hanya sekedar film survival semata, namun juga mengandung nilai-nilai kehidupan.

Bicara akting, Sandra Bullock menampilkan performa terbaiknya difilm ini. Ia mampu memerankan seorang yang masih sangat awam dengan luar angkasa, segala kepanikan dan keasingan mampu tergambar jelas dari tiap mimik, suara, dan bahasa tubuhnya. Jarang sekali menyaksikan film sci-fi dengan cerita yang begitu dalam, penuh filosofi, menegangkan sekaligus mengagumkan secara visual, tapi Gravity mempunyai itu semua. Salut :)


4 Nov 2013

OBLIVION (2013)


 

Sejujurnya agak bosan menonton film-film bergenre fiksi ilmiah yang ceritanya ga jauh-jauh dari invasi alien, kehancuran bumi dan kehidupan manusia yang bersetting dimasa depan. Apalagi setelah kemarin sempet menonton After Earth yang bisa dibilang mengecewakan itu. Tapi entah kenapa tetap terdorong pengen melihat film sci-fi 1 ini. Mungkin karena dibintangi Tom Cruise yang secara gak langsung juga menjadi magnet tersendiri. Apalagi melihat ratingnya di imdb yang bisa dibilang lumayan bagus. Film ini disutradarai oleh Joseph Kosinski, yang sebelumnya pernah membuat kita kagum dengan kecanggihan-kecanggihan yang ditawarkan dalam Tron Legacy.

Oblivion bersetting di bumi pada tahun 2077 ketika semua manusia telah dievakuasi ke Titan, salah satu bulan di Saturnus. Bumi diceritakan telah mengalami kehancuran dan kepunahan pasca perang nuklir antara manusia dan 'alien' yang disebut scavanger. Perang tersebut memang dimenangkan oleh manusia, tapi efek dari perang nuklir tersebut planet bumi kini menjadi rusak dan tak bisa ditinggali lagi. Kini bumi hanya menyisakan Jack Harper (Tom Cruise) dan rekannya, Victoria (Andrea Riseborough) yang bertugas untuk mengambil sumber daya yang tersisa  termasuk memperbaiki dan merawat drone, sebuah mesin pelindung Righ Hydro (mesin penyedot air laut untuk diubah menjadi fusi/tenaga baru).

Di awal film, Oblivion sedikit lambat berjalan, hingga membuatku sedikit mengantuk apalagi menonton film ini ditengah malam. Banyak scene-scene yang sebenernya bisa aja di skip karena ga terlalu penting dan terkesan dilama-lamain. Sampai tiba dipertengahan untungnya cerita lebih dipaparkan dengan menegangkan dan penuh misteri. Joseph Kosinski kali ini mempunyai naskah yang jauh lebih kompleks walaupun tidak fresh. Memang ide dan naskahnya tidak original, banyak aroma film fiksi ilmiah lain yang masih bisa kita rasakan di film ini, tapi Oblivion mampu mengolah hal-hal klise tersebut menjadi sebuah tontonan yang lebih berbobot. Kosinski untungnya tahu apa yang harus ditambahkan agar film ini tidak terlalu membosankan dengan segala ke-kliseannya.

Kosinski seakan juga tahu bagaimana menutupi kekurangan film ini dan dengan lihai mengikat penonton untuk tetap duduk manis dengan menggandeng sinematografer Claudio Miranda (Life of Pi) .Tak diragukan lagi Claudio Miranda tentunya mampu memoles Oblivion sehingga setiap gambar yang ditampilkan terlihat begitu cantiknya dan sangat memanjakan mata. Scoring di film ini juga sangat sangat mengagumkan dan cocok sekali mengiringi berbagai adegan, membuat nuansa sci-fi makin kental saja. Film ini juga berbalut keromantisan dibeberapa bagian. Dan menurutku cukup efektif untuk memberi pemanis dalam sebuah fiksi ilmiah . Gak hanya keromantisan, Kosinski juga memunculkan beberapa twist yang cukup mengejutkan

Akting Tom Cruise tidak begitu istimewa, tapi masih saja memancarkan kharismanya yang begitu kuat dan seakan menjadi magnet sepanjang film. Akting Olga Kurylenko pun juga tidak begitu istimewa. Chemistry Cruise dan Kurylenko juga sebenarnya tidak begitu menyatu, tapi apalah arti sebuah chemistry yang kurang jika semuanya seakan tertutupi dengan sajian sinematografi yang memukau. Penonton juga mungkin akan mengabaikan keterikatan batin antar pemainnya, toh ini adalah memang sebuah sajian yang lebih menonjolkan visualisasi dan kecanggihan, bukan sebuah drama romantis yang butuh kedalaman emosi. Overall Oblivion memang tidak mengusung cerita yang original tapi diluar ekspektasi-ku ternyata film ini tidak begitu mengecewakan. Memang tidak terlalu istimewa, masih banyak kekurangan disana-sini, tapi setidaknya kali ini Kosinski mampu membuat sebuah karya yang gak hanya memukau dari segi visual tapi secara cerita juga mempunyai kekuatan dan kedalaman tersendiri. Happy watching ^^




27 Okt 2013

PEE MAK (2013)



Thailand adalah negara yang terkenal mempunyai kualitas film-film horor yang seram, tak kalah dengan Jepang yang terkenal dengan ikon hantu sadako- nya. Film-film dari negeri gajah putih juga banyak menjadikan inspirasi sineas hollywood, bahkan tak jarang menjadi sasaran remake oleh hollywood, sebut saja Shutter yang pernah diremake ditahun 2008. Seperti halnya horor Jepang, horor Thailand juga banyak menyimpan cerita urban legend, tentang sebuah misteri daerah setempat. Kali ini Banjong Pisanthanakhun kembali menggarap sebuah horor yang bertajuk Pee Mak. Sineas thailand yang pernah sukses membekaskan ketakutan lewat Shutter itu mengangkat sebuah cerita legenda setempat yang menceritakan hantu wanita cantik bertangan panjang yang mati setelah melahirkan anaknya. Sebenarnya cerita ini dulu pernah diangkat juga dalam sebuah film, kalau yang inget ditahun 1999 pernah ada film horor Thailand yang berjudul Nang Nak, nah Pee Mak ini bisa dibilang versi parodinya.

Pee Mak bercerita tentang Mak (Mario Maurer) yang sedang berada dimedan perang guna membela negaranya bersama keempat rekannya Aey, Ter, Shin dan Puak. Sementara Nak (Davika Hoorne) adalah istri Mak yang tengah hamil tua diperlihatkan sedang kesakitan dirumahnya, sepertinya ingin segera melahirkan. Singkat cerita tiba waktunya Mak pulang dari medan perang dan mendapati sang istri telah melahirkan. Mak pun menyalurkan semua rasa rindu kepada sang istri yang telah lama ditinggalkannya, dan juga pada sang bayi yang baru saja dilahirkan. Karena diselimuti rasa rindu yang lama tertahan, Mak terlihat tidak peduli dengan kabar burung dan ocehan masyarakat setempat yang menyebutkan bahwa Nak, sang istri kini telah meninggal dan menjadi hantu. Bahkan kecurigaan teman-temannya pun tidak digubrisnya. Dan ceritapun terus berlanjut memaksa kita makin penasaran dan menebak-nebak siapa sih hantu yang sebenarnya :))

Pada awalnya kupikir ini adalah sebuah horor yang murni, kalaupun terdapat unsur komedi paling juga ga akan terlalu banyak. Sampai tiba saatnya diperlihatkan jajaran teman Mak dengan segala kekonyolannya, makin merubah pandanganku jika ini adalah sebuah horor dengan unsur komedi yang kental. Ditambah pula dengan dandanan aneh keempat rekan Mak tersebut plus gigi hitam dan tatapan jenaka-nya. Banjong Pisanthanakhun rupanya ingin memadukan sebuah urban legend dengan sentuhan komedi tapi sedikit kelebihan dosis :D. Kenapa kelebihan dosis, karena sepanjang menonton film ini, ak justru lebih banyak ngakak daripada ketakutan. Tapi gak kecewa sih, karena walaupun meleset dari perkiraan, ternyata film ini malah sangat-sangat menghibur.

Selain dibumbui komedi segar, ternyata horor asia 1 ini juga dibumbui dengan keromantisan. Jadi film ini tuh ibaratnya perpaduan 3 rasa maknyus antara genre horor-komedi-romance yang mengangkat tema percintaan hantu dan manusia. Ada romantisnya, ada lucu-lucunya, tapi nuansa seram juga tetap konsisten mendasari cerita. Banjong mampu memuaskan kita dengan 3 genre sekaligus. Disaat kita mulai tegang, mulai merasa ditakut-takuti, tiba-tiba saja aksi dari keempat teman Mak seakan melunturkan ketakutan itu dan membuat kita justru terpingkal-pingkal. Juga disaat kita sedang mengharapkan keseraman itu meningkat, ternyata film ini malah berubah menjadi melankolis dan kental dengan unsur drama. Tapi walaupun arahnya cenderung membingungkan, dan terlalu banyak memasukkan unsur diluar horor, film ini tetap asyik kok dinikmati.

Akting semua cast juga patut diacungi jempol. Terutama chemistry keempat teman Mak (yang juga pernah sukses membintangi phobia, dan phobia 2). Mereka berempat adalah aset terpenting dalam film ini, dengan kekonyolan dan kekompakan mereka yang selalu berhasil mengocok perut. Akting Mario Maurer dan Davika Hoorne juga gak kalah bagus walaupun tidak istimewa. Mereka mampu membangun chemistry yang lumayan klik. Keromantisan keduanya mampu diperlihatkan dengan pas dan gak berlebihan, memberi pemanis disela ketakutan penonton. Adegan dipasar malam merupakan adegan yang paling manis, saat mereka naik bianglala dan saat Nak melepas topengnya agar (ups, takut spoiler) yang udah nonton pasti tau maksudnya :D Bagian itu merupakan perpaduan cerdas horor dan romance yang efektif dan sangat menyentuh 

Selain itu, setting film ini juga cukup meyakinkan. dengan lokasi perkampungan dipinggiran sungai. Menambah ke-eksotikan sepanjang film. Kostum tradisional yang dipakai para pemain juga menambah kentalnya cerita urban legend yang mendasari film ini. Makin meyakinkan bahwa film ini memang bersetting di abad 19. Walaupun begitu Banjong juga menampilkan beberapa kejanggalan-kejanggalan yang sepertinya memang di sengaja, tapi itu justru menambah kekonyolan film ini. Toh film ini memang diciptakan untuk membikin penonton tertawa kan, bukan sebuah horor serius yang didasari dengan semua keterikatan yang masuk akal. Selamat menonton ^^


22 Okt 2013

INSIDIOUS: CHAPTER 2 (2013)



Masih ingat dengan gaya horor yang diusung dalam Insidious dan The Conjuring. Gaya horor yang cenderung klasik, dengan hantu-hantu gothic-nya, dengan setting rumah berhantunya yang khas, dengan segala pernak-pernik horornya, dengan scoring ala Joseph Bishara yang selalu membikin kuping pengang dan lumayan disturbing itu. Kali ini masih dengan atmosfir sama, James Wan kembali menghadirkan sentuhan khasnya dalam Insidious chapter 2. Masih ingat kan dengan akhir cerita Insidious. Singkat kata setelah apa yang terjadi di ending Insidious itu, keluarga Lambert memutuskan untuk pindah sementara kerumah sang nenek (ibu dari Josh) Yakni Lorraine (Barbara Hershey) sembari menata kehidupannya lagi dari awal. Tapi ternyata kejadian-kejadian aneh dan teror masih saja terjadi dirumah sang nenek, juga keganjilan-keganjilan yang Renai dan Lorraine temukan dalam diri Josh.

Dengan atmosfer yang gak beda jauh dengan seri pertamanya, film yang naskahnya masih ditulis oleh Leigh Whannell ini terasa lebih kompleks dari chapter pertamanya. Wan membaluti film ini dengan misteri yang lebih dalam lagi sekaligus menjawab berbagai pertanyaaan yang jadi misteri di Insidious pertama. Jika dalam Insidious kita hanya ditakut-takuti sepanjang film dengan kemunculan setan merah dan sejenisnya yang sangat unpredictable, di sekuelnya kali ini kita akan lebih banyak dibuat mikir karena apa yang terjadi tidak hanya sekedar masalah projection astral, tapi ada kaitannya juga dengan masa lalu Josh. Jadi akan ada beberapa adegan flashback tentang masa kecil Josh diawal-awal film. Di film ini juga diselipkan beberapa sempilan humor, mungkin untuk menyeimbangkan emosi penonton karena di chapter kedua ini memang ceritanya jauh lebih kompleks dan lebih tegang.

Banyaknya unsur thriller di film ini sebenarnya berpotensi meningkatkan tensi ketegangan, tapi menurutku justru menggusur porsi horornya sendiri. Banyak-nya misteri juga membuat kita sedikit berpaling dari arena horor untuk kemudian lebih sibuk berpikir.dan memecahkan teka-teki. Tapi yasudahlah toh James Wan tetap menggarap film ini dengan total. Wan membangun tiap ketegangan, keseraman dengan tidak asal-asalan. Ia mendasari semua kengerian dengan cerita yang kuat, tidak sekedar menakut-nakuti tapi bener-bener ada misteri dibalik itu semua yang saling berkaitan. Meski begitu, jika dibandingkan dengan chapter pertamanya, Insidious chapter 2 masih terasa kurang creepy menurutku. Insidious pertama terasa lebih simpel dan lebih intens dalam menakut-nakuti sepanjang film.

Di Insidious pertama tema projection astral adalah satu hal yang menarik karena idenya yang sangat fresh..Tapi di chapter kedua ini tema itu sudah tidak terasa special  Wan pun terlihat lebih fokus dalam menjejali otak penonton dengan misteri sembari menambahkan unsur-unsur thriller. Seolah ia lupa bahwa penonton juga butuh ditakut-takuti. Oiya, di film ini Wan juga menambahkan permainan-permainan memorable seperti di The Conjuring. Kalau di Conjuring ada clap and hide, di film ini ada permainan hot and cold. Tapi sayangnya permainan hot and cold dalam film ini gak se-mengerikan clap and hide yang masih saja membekas dipikiranku.

Tapi jika dibandingkan denan film pertamanya, Insidious 2 jauh lebih gemilang dalam jajaran cast-nya. Pendalaman karakter terasa lebih baik di chapter kedua ini.  Patrick Wilson menampilkan performa yang lebih baik dibanding chapter pertama. Segala tatapannya yang mengancam dan ganjil mampu ditampilkan dengan baik. Begitu juga Rose Byrne, ia mampu mengekspresikan semua ketakutan dan kegelisahannya. Overall Insidious chapter 2 memang tidak sesegar Insidious pertama, tapi sekuelnya ini jauh lebih padat dengan semua misteri dan ketegangannya, dengan nuansa horor yang masih James Wan banget . Yaa, walaupun terasa kurang intens dalam  menakut-nakuti, tapi Insidious chapter 2 tetaplah menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Happy watching


13 Okt 2013

LAURA & MARSHA (2013)





Sangat menarik melihat dua aktris hebat terlibat dalam 1 film.Yang pertama Adinia Wirasti. Aktris yang pernah bermain dalam Tentang Dia yang juga mengantarnya menjadi pemeran pendukung wanita terbaik FFI 2005 ini adalah seorang aktris yang menurutku punya kualitas akting yang luar biasa. Sejak bermain di Tentang Dia (2005), 3 Hari Untuk Selamanya (2007) kemudian terlibat dalam Dunia Mereka (2006), bahkan saat ia bermain di Sinema Wajah Indonesia (terutama dalam Mahasmara), aktingnya sudah sangat mencuri perhatianku. Asti adalah pemeran dengan akting yang selalu total dan natural. Yang kedua Prisia Nasution, aktris terbaik FFI 2011 dalam film Sang Penari ini juga tak diragukan lagi kemampuan aktingnya, walaupun gak terlalu mengidolakan dan tak begitu memperhatikan sepak terjangnya, tapi kuakui Pia juga punya kualitas akting yang mumpuni dalam beberapa film dan FTV yang pernah dimainkannya. 

Dan tentu suatu hal yang sangat menggembirakan untukku bisa melihat duet akting mereka dalam film garapan Dinna Jasanti ini. Asti sepertinya sangat gemar bermain dalam film yang bertema perjalanan. Seperti diketahui, sebelumnya ia juga pernah membintangi sebuah road movie, 3 Hari Untuk Selamanya. Dan kini ia kembali bermain film dengan tema serupa. Kali ini tidak hanya perjalanan dari jakarta kejogja selama 3 hari, tapi perjalanan jauh ke eropa dan beberapa kotanya seperti Amsterdam, Bruhl, Innsbruck, Verona, dan Venice dengan pemandangannya yang sangat keren. 

Diceritakan bahwa Laura (Prisia Nasution) telah bersahabat dengan Marsha (Adinia Wirasti) sejak SMA. Mereka pernah mempunyai sebuah impian saat masih sekolah dulu yakni ingin berkeliing eropa, tapi rencana itu sampai saat ini belum bisa terwujud karena beberapa hal dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan keduanya. Laura yang merupakan agen perjalanan merasa tak bisa meninggalkan putri semata wayangnya sendirian. Apalagi pasca sang suami, Ryan (Restu Sinaga) meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Sementara Marsha adalah seorang penulis buku traveling. Ia sangat ingin pergi ke eropa untuk memperingati meninggalnya sang ibu. Singkat kata karena desakan Marsha dan dijanjikan hanya 2 minggu saja pergi ke eropa, Laura pun akhirnya menyetujui rencana tersebut.

Ini tipe film yang sangat enak dinikmati. Kita serasa diajak traveling dan disuguhi pemandangan eropa sepanjang perjalanan. Mengikuti setiap langkah Laura dan Marsha terasa sangat mengasyikkan. Seperti biasa, Asti bermain dengan gaya naturalnya. Dengan dialognya yang mengalir dan gak kaku membuat film ini terasa sangat hidup. Begitupun Pia, ia mampu mengolah dan mengekspresikan setiap emosinya dengan baik. Laura difilm ini digambarkan sebagai perempuan yang terlalu saklek dengan aturan-aturan hidupnya, Ia dewasa dan tidak pernah serampangan dalam melakukan apapun. Apa yang ia kerjakan selalu dipertimbangkan dulu baik-buruknya. Sedangan Marsha adalah kebalikannya. Ia seorang yang slengekan dan terkesan cuek bebek, kadang terkesan kekanak-kanakan. Tapi anehnya karakter Asti (Marsha) difilm ini justru terlihat sangat menarik. Dari mulai gaya bicara, gesture tubuh dan mimiknya bener-bener mencerminkan seorang yang liar dan cuek. Hampir mirip dengan karakter Ambar di 3 Hari Untuk Selamanya, tapi tetap saja ia mampu memberikan identitas berbeda diantara kedua karakter tersebut. 

Dua kepribadian yang sangat berbeda itulah Laura dan Marsha. Hampir gak pernah seiring sejalan, bisa dibilang bagai langit dan bumi. Laura terlihat gak menikmati dunianya sedang Marsha selalu terlihat bersemangat dan menikmati hidup walau dalam keadaan sesulit apapun. Tapi walaupun memiliki kepribadian yang bertolak belakang mereka tetap terlihat kompak dan klik. Persahabatan yang agak aneh memang tapi itulah yang coba diangkat oleh Titien Watiemena sang penulis naskah, menjadikan ceritanya kali ini terlihat sangat unik dan menyenangkan untuk diikuti. Melihat pertikaian-pertikaian yang terjadi sungguh lucu dan menghibur. Justru sifat keduanya yang kontras itulah yang akhirnya memberikan ruang film ini untuk mengisi tiap celahnya dengan dialog-dialog lucu dan memancing senyum. 

Interaksi antara Asti dan Pia lumayan chemistry, walaupun kadang seperti masih ada dinding pemisah antara keduanya. Tapi untungnya bisa ditutupi dengan akting Asti yang luwes dan seperti mampu merangkul Pia untuk lebih enjoy bermain. Keduanya mampu bekerjasama dengan baik walaupun baru sekali dipertemukan dalam film. Dinna Jasanti begitu pintar dalam memadukan semua unsur dalam film ini mulai dari jajaran cast-nya yang bermain total, juga setting eropa yang begitu memanjakan mata dengan lanskap-lanskap indahnya. Setiap jengkal perjalanan dan percakapannya dikemas dengan apa adanya. Apalagi diiringi dengan Ey Kawan dan Summertime-nya Diar menambah film ini makin terasa bernyawa dan mengasyikkan.

Laura dan Marsha mampu memberikan gambaran tentang sebuah perjalanan yang penuh rintangan, penuh konflik, namun pada akhirnya justru memberikan satu pengaruh positif dalam diri masing-masing karakter dalam memandang hidup. Tidak hanya menawarkan pemandangan eropa nan indah, ada banyak pesan moral yang bisa dipetik. Salah satunya adalah pesan kecil yang mendasari film ini, bahwa sejatinya perbedaan karakter dan perbedaan prinsip sekalipun bukanlah sebuah penghalang langgengnya sebuah persahabatan. Seberapa mampu dan seberapa dewasa kita dalam menghadapi ujian persahabatan itulah yang akan menentukan semua.  Happy Watching



7 Okt 2013

WHAT MAISIE KNEW (2012)


 

Film yang bergenre drama ini dengan gamblang mengangkat potret keluarga broken home, dimana seringkali sang anak yang kemudian jadi korbannya. Maisie (Onata Aprile) adalah salah satu gambaran tersebut. Orang tuanya Beale (Steve Coogan) dan Susanna (Julianne Moore) merupakan gambaran orang tua yang sibuk, dimana Beale merupakan seorang art dealer yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya dan sering bepergian keluar negeri. Sementara sang ibu adalah seorang vokalis band rock yang disibukkan dengan tour kesana kemari. 

Mereka memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi dengan orang lain. Beale menikah lagi dengan Margo (Joanna Vanderham) sang pengasuh, sementara Susanna menikah dengan Lincoln (Alexander Skarsgard). Maisie disini adalah korban dari perceraian kedua orang tuanya, itulah yang akan jadi permasalahan utama di film ini. Maisie pada akhirnya harus menuai dampak perceraian orang tuanya dan impian untuk mempunyai keluarga utuh bahagia dengan segala perhatian penuh orang tua pun rasanya semakin jauh saja

Di adaptasi dari sebuah novel yang terbit pada tahun 1897 karya Henry James, film ini sangat tepat sasaran dalam menyampaikan segala pesannya lewat berbagai konflik dan carut marut yang terjadi dalam keluarga broken home. Dampak dari perceraian orang tua Maisie mampu tergambar dengan baik dan realistis. Begitupun pertengkaran-pertengkaran yang secara tidak langsung akan sangat mengganggu psikologis Maisie sebagai anak yang masih dibawah umur. Melihat anak 6 tahun harus menerima segala keadaan yang tidak mengenakkan pasca perceraian orang tua, bahkan jadi perebutan diantara kedua orang tuanya dengan segala ego nya masing-masing sungguh sangat miris, 

Melihat anak yang masih sangat polos harus menerima segala resiko atas keadaan yang bahkan belum dapat ia mengerti membuat batin tersentuh. Duet Scott McGehee dan David Siegel begitu sangat solid dalam merealisasikan potret itu semua. Membuat penonton iba melihat sosok Maisie yang harus dipontang-pantingkan kesana kemari, sementara kedua orang tuanya tidak punya banyak waktu untuk memberikan apa yang seharusnya dibutuhkan anak seumuran Maisie. Tapi beruntung masih ada orang-orang yang menyayanginya dan mampu memberikan perhatian ekstra yang selama ini didambakannya

Tapi mirisnya justru orang-orang terdekat orang tuanya lah yang punya waktu banyak untuk Maisie, bukan Beale maupun Susanna. Walaupun kadang mereka juga menyempatkan waktu untuk menemani Maisie, tapi Maisie terlihat lebih menikmati dunia nya saat bersama dengan Margo dan Lincoln. Ya, mereka lebih mampu masuk kedunia Maisie dan mengambil hati Maisie. Mereka lebih tau apa yang dibutuhkan Maisie. Seorang anak yang sebenarnya ga minta apa-apa selain perhatian dan kasih sayang juga waktu yang cukup. Sangat sederhana, tapi sayangnya kedua orang tuanya tak tahu apa yang diinginkannya. Mereka lebih sibuk dengan dunianya masing-masing. 

Film yang cukup menyentuh dan membuatku iba akan sosok Maisie. Tapi juga kagum dengan karakter gadis cilik itu. Onata Aprile terlihat sangat apik mendalami karakternya sebagai gadis cilik yang mencoba menerima keadaannya. Keadaan dimana orang tuanya harus berpisah di usianya yang sedini itu, menerima bahwa setiap saat harus melihat dan mendengar pertengkaran demi pertengkaran yang pasti sangat menggoncang mentalnya, menerima bahwa orang tuanya tak bisa memberikan waktu banyak untuknya. Onata mampu mengekspresikan itu semua dengan cukup dewasa. Ya, Maisie digambarkan sebagai seorang gadis cilik yang tegar, yang terlihat dewasa diusianya. Onata mampu memerankan seorang anak korban broken home yang gak manja, gak cengeng, tapi tetap tampil dengan wajah polosnya dan tatapan innocent-nya. 

Film ini berjalan dengan tempo sedang dan enak dinikmati. Seperti melihat keseharian dan potret kehidupan yang sebenarnya saat menikmati dialog demi dialog. Tiap momen yang tersaji mampu membuat kita terenyuh, kadang miris, kadang juga ikut bahagia saat melihat Maisie tersenyum, saat melihatnya tertawa dan mesra bersama Margo dan Lincoln. Sepertinya gambaran keluarga yang sangat harmonis jika mereka benar-benar dipersatukan. Didukung dengan musik score yang makin menambah keharuan, membuat  air mata kadang juga sedikit menetes.

Sebuah potret keadaan yang pastinya sering terjadi dikehidupan sehari-hari. Banyak pesan moral yang bisa dipetik dari film yang naskahnya ditulis Nancy Doyne dan Carroll Cartwright ini. Mungkin film ini memang ditujukan untuk menepuk pundak para orang tua yang juga mengalami hal serupa. Bahwa perceraian sekalipun tak seharusnya mengorbankan kebahagiaan anak. Bahwa seorang anak juga butuh perhatian ekstra orang tuanya. Tak peduli apa yang terjadi dengan keluarganya, mereka tak pernah mau tahu itu.Yang mereka tahu, mereka hanya ingin bahagia seperti anak-anak yang lain, Yang mereka tahu mereka hanya ingin diperhatikan. Hanya itu sebenarnya yang diketahui seorang gadis polos korban broken home seperti halnya Maisie, gak lebih !!


5 Okt 2013

CURSE OF CHUCKY (2013)



Masih menghadirkan teror dari sebuah boneka pembunuh, Curse of Chucky bercerita tentang Nica (Fiona Dourif) seorang gadis lumpuh yang tinggal berdua bersama sang ibu. Ketika tiba-tiba rumahnya kedatangan paket kiriman tanpa identitas sang pengirim. Yang setelah dibuka ternyata berisi boneka Chucky. Yaa, Chucky pada akhirnya mulai meneror keluarga Nica. Bermula dari terbunuhnya sang ibu yang akhirnya membuat sang kakak Nica, Barb beserta suaminya Ian, dan anaknya Alice (Summer H. Howell) juga sang pengasuh yang bernama Jill datang kekediamannya untuk mengikuti upacara pemakaman dan menghibur Nica yang sedang berduka

Film ini merupakan lanjutan dari franchise Child's Plays yang mana Child's Play pertama dirilis pada tahun 1988, kemudian diteruskan pada tahun 1990, lalu berlanjut hingga menjadi sebuah trilogi di tahun 1991. Beberapa tahun kemudian muncul juga Bride of Chucky ditahun 1998, dan Seed of Chucky pada 2004. Dan film yang akan ku ulas ini adalah seri yang keenam yang bertajuk Curse of Chucky.Tidak seperti seri-seri sebelumnya, sekuelnya kali ini hanya straight to dvd aja, tapi dijamin akan tetap mampu meneror kita dengan seringai jahat sang boneka pembunuh

Film yang masih saja ditulis oleh Don Mancini ini bukanlah sebuah sekuel ecek-ecek. Walaupun hanya diproduksi dalam bentuk DVD dan berbudget murah tapi kualitasnya boleh disetarakan dengan film-film horor yang tayang dibioskop. Sejak awal, Curse of Chucky sudah mempesonaku karena mampu menceritakan semua rentetan kisahnya dengan rapi. Dengan ramah Mancini memperkenalkan kita dengan kediaman Nica, bermula dari kedatangan sang boneka kedalam rumah Nica, sampai pada akhirnya serentetan kejadian misterius pun bermunculan termasuk kematian sang ibu yang mula-mulanya mereka duga karena bunuh diri

Cerita terus mengalir dengan rapih, diiringi scoring yang mendukung aksi kaget-kagetannya. Sebenernya sih bukan boneka bengis tersebut yang mengancam dan memberi efek takut di film ini. Gw pribadi malah lebih banyak terlonjak karena scoring dan beberapa momen mengagetkan dI film ini. Untuk boneka chucky nya sendiri sebenernya sih cenderung bikin gemes ya, karena kepalanya yang gede dan mukanya yang tengil :D  Bagiku Chucky masih kurang mengancam, karena hanya berwujud boneka yang lebih banyak meneror dengan senyum dan tatapan jahat, juga kadang suara kekehan yang bahkan bisa dibilang lucu.

Tapi sebagai sebuah sekuel yang hanya diedarkan dalam bentuk dvd, Curse of Chucky bisa dibilang lumayan. Adegan-adegan slashernya terlihat meyakinkan dan lumayan ngeri. Mancini yang berlaku juga sebagai sutradara, mampu memberikan aura seram lewat setting dan suasana yang dibangun. Bisa dilihat dari suasana rumah Nica yang terkesan megah, terasa sepi, kosong dan dingin. 

Film ini bisa dibilang serba cukup lah. Cukup membuat kita puas dengan  adegan-adegan sadisnya, cukup membuat kita teriak dengan setiap momen kejutnya, cukup membuat kita merasa dibuntuti Chucky sang boneka peneror. Untuk cast-nya  semuanya terlihat bermain dengan aman, dan hampir gak ada akting yang menonjol disini. Semuanya standar aja menurutku. Mungkin hanya Chucky yang suaranya diisi oleh Brad Dourif, yang juga merupakan ayah kandung Fiona Dourif (pemeran Nica). Boneka itu terasa sangat berkarakter dan hidup karena dukungan suara Brad yang sangat meyakinkan. 

Walaupun begitu, tetap ada beberapa momen di film ini yang terasa sedikit membosankan ketika sang boneka tidak lagi menunjukkan kemisteriusannya dan mulai menyerang secara frontal.Tapi Mancini tau betul bagaimana membuat penontonnya tetap terpaku kelayar. Ia takkan rela membiarkan kita berpaling dari pesona chucky. Mancini mengajak kita bersenang-senang saat tiba-tiba saja ia bermain dengan sengatan listrik, juga bola mata yang menggelinding dengan indahnya. Ya, untung saja ia tahu bagaimana membuat penontonnya tetap fokus dengan sang boneka maut. Overall,  sebagai film yang hanya straight to dvd sih fim ini cukup bisa dinikmati... Wanna play??


3 Okt 2013

YOU'RE NEXT (2013)



Cerita berawal dari  kedatangan Crispian (AJ Bowen) dan kekasihnya Erin (Sharni Vinson) mengunjungi rumah orang tua Crispian yang berada di tengah hutan didaerah terpencil. Kemudian disusul anggota keluarga yang lain dengan membawa pasangan masing-masing.  Ceritanya di malam itu mereka akan mengadakan reuni keluarga sekaligus merayakan ulang tahun orang tua mereka, ketika tiba-tiba pada saat jamuan makan malam, sekelompok pembunuh bertopeng meneror mereka dan pada akhirnya membantai mereka satu persatu dengan cara mengerikan.

Film ini adalah film yang pernah tayang di Midnight Madness-nya TIFF (Toronto International Film Festival) pada tahun 2011 bebarengan dengan The Raid juga saat itu. Dan sutradara Gareth Evans, melalui PT Persada Utama Lestari, yaitu anak perusahaan PT Merantau Films akhirnya sukses membawa film ini ke Indonesia setelah lama mengincar  film yang masuk dalam daftar "Must see" di Toronto International Film Festival 2011 ini, walaupun harus menunggu selama 2 tahun. Sepertinya pilihan Gareth Evans, dan keputusannya untuk mengimpor film ini tidak salah.

Biasanya film bergenre slasher sepanjang film akan membawa kita fokus dalam suasana ketegangan, seakan gak memberi jeda untuk sedikit bernapas. You're Next  beda dari film-film bergenre slasher yang lain karena film ini tidak hanya menawarkan darah dan ketegangan. Film yang dibesut oleh sutradara Adam Wingard ini masih sempat membuat kita tertawa karena sempilan-sempilan humor didalamnya. Ada saja disela-sela ketegangan ditampilkan adegan yang justru membuat kita tersenyum geli karena kekonyolannya. Bahkan menurutku di beberapa adegan tertentu seperti sedang menonton Home Alone versi slasher haha. Tapi sangat menikmati banget sih, karena menonton film ini jadi pengalaman menonton yang menyenangkan dan enjoy banget. Semburan darah, adegan bacok-bacokan dan adegan-adegan sadis lainnya seperti enak aja dipandang karena adanya unsur black comedy tersebut

You're Next ini tak ubahnya seperti santapan ringan bagi penggemar slasher. Seperti snack yang cukup untuk sekedar mengganjal perut. Gak berat, tapi mampu memuaskan selera. You're Next gak berbelit-belit dalam eksekusinya. Semua berjalan dengan tempo yang pas, adegan-adegan slashermya juga ditampilkan secara natural dan gak lebay. Bahkan sebenernya plot nya pun juga sangat sederhana seperti plot yang biasa kita temui di film-film slasher yang lain. Tapi film ini adalah sebuah home invasion yang beda. Karena berani menggabungkan unsur gelap dengan komedi yang hebatnya bisa berjalan beriringan tanpa mengganggu satu sama lain. Penonton akan tetap menjerit sekaligus tertawa secara bersamaan. Adam Wingard begitu pintarnya mengemas film ini dalam balutan black comedy, membuat penonton bingung memutuskan harus berada pada emosi yang mana sebelum pada akhirnya semua emosi keluar bersamaan

Begitupun pemilihan cast-nya yang tidak begitu populer tapi semuanya mampu memberikan performa terbaiknya. Apalagi penampilan dari Sharni Vinson yang sangat total, berani dan meyakinkan. Setting yang dipilih  juga menambah kesan gelap dalam film ini. Didukung dengan pembunuh-pembunuh bertopeng yang kehadirannya sangat susah ditebak terutama di awal-awal terornya. Membuat kita sebagai penonton ikut merasa terancam, ketakutan, karena panah-panah yang secepat kilat tiba-tiba saja menancap, karena kapak yang tiba-tiba saja melayang, pisau yang tiba-tiba menikam. Walaupun keberadaan pembunuh bertopeng dipertengahan film semakin sering dipertunjukkan tapi You're Next masih saja bertaring karena ketegangan yang tetap terjaga dengan baik. 

Ibarat masakan film ini gak pake bumbu penyedap, hanya memakai bumbu alami yang ditumbuk secara pas, tapi hidangan ini tetaplah menjadi santapan yang nikmat. Banyak film-film slasher yang terlalu konsen dalam menambahkan efek ini itu tapi pada akhirnya malah kurang bisa dinikmati penonton. You're Next ini termasuk film slasher yang gak ribet, yang ditakar dengan sangat pas sehingga menjadi tontonan ringan yang menghibur

Untuk mengenyangkan selera penonton, Adam Wingard pun menutup film ini dengan suapan terakhirnya yang maknyus. Lagi-lagi dengan kekonyolan yang masih saja mengocok perut. Sembari membikin kita bersorak kegirangan karena mempunyai sang jagoan wanita yang dengan gagah berani membantai para pembunuh bertopeng. Dan ternyata dibalik itu semua, sebuah twist dan penutup manis pun telah disiapkan olehnya, sebuah dessert segar yang pas dimulut :D